Selasa 05 Jul 2011 19:44 WIB

Minoritas Muslim Uighurs di Cina Terus Ditindas dan Dibungkam

Seorang wanita Muslim Uighur  di Urumqi berhadapan dengan militer Cina
Foto: AP
Seorang wanita Muslim Uighur di Urumqi berhadapan dengan militer Cina

REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG - Dua tahun usai kerusuhan mengguncang Xinjiang yang berpenduduk mayoritas Muslim, suara-suara etnis Uighurs masih dibungkam. Mereka dipaksa diam dengan ancaman penjara dan kamera pengintai yang diberlakukan oleh pemerintah Cina, demikian Amnesty Internasional menuturkan pada laman online mereka, Selasa, (5/7).

"Pemerintah tak hanya memberangus orang-orang yang menyinggung insiden pada Juli 2009 silam, mereka juga menggunakan pengaruh kekuasaan hingga di perbatasan untuk memaksa setiap orang agar tutup mulut," ujar direktur Amnesti Internasional untuk Asifa Pasifik, Sam Zarifi.

Dalam masa-masa itu, kelompok besar etnis Han turun ke jalan-jalan untuk melampiaskan dendam terhadap etnis Uighur. Situasi itu menimbulkan kekerasan etnis terburuk di Cina dalam beberapa dekade terakhir.

Kerusuhan menyebabkan hampir 200 orang tewas dan 1.700 orang terluka, demikian penghitungan pemerintah. Namun pihak Uighurs menyatakan jumlah korban tewas lebih tinggi dan terbanyak dari komunitas mereka.

Pemerintah Cina sejauh ini telah memvonis 200 orang--sebagian besar Uighurs--dalam kasus itu dan menghukum mati 26 orang di antaranya.

Usai kejadian tersebut, Cina memasang sekitar 17 ribu kamera pengintai di lingkungan Urumqi yang sebelumnya telah dipasangi kamera. Pemasangan terutama dilakukan di kawasan padat etnis Uighurs, minoritas Muslim berbahasa Turki yang diperkirakan berjumlah 8 juta orang.

"Tren umum yang terjadi, penindasan yang terjadi di penjuru Cina terhadap Muslim, terutama berpusat di Xinjiang. Di sana Uighur menjadi minoritas di tanah kelahirannya," ujar Zarifi.

Xinjiang telah menjadi daerah otonomi sejak 1955. Namun, status itu tak lantas menghilangkan sikap represif pemerintah Cina. "Menyerang setiap Uighurs yang berbicara bebas tak akan menyelesaikan keluhan di akar rumput," ujar Zarifi.

Seorang Uighur, Ershidin Israil, yang mencari suaka baru-baru ini dipaksa kembali dari Kazakhstan ke Cina. Rupanya pemerintah Cina melakukan tekanan terhadap tetangganya, negara Asia Tengah itu.

Penahanannya menuai keprihatinan karena kemungkinan besar ia mengalami penyiksaan dan dakwaan terhadap dirinya direkayasa.

Ershidin bukan satu-satunya kasus Urumqi yang tertindas. Seorang penyiar radio terkemuka di negara itu, Memetjan Abdulla, kini menjalani hukuman penjara seumur hidup karena memposting surat protes di laman Uighur, Salkin.

Lalu ada pula Tursanjan Hezim dan Dilshat Paerhat, mantan redaktur situs berita online terkenal di Uighur. Tursanjam diganjar tujuh tahun dan Dilshat harus mendekam lima tahun, juga gara-gara menayangkan protes secara online.

Kemudian seorang jurnalis Uighur, Hairat Niyaz, kini harus hidup di balik sel selama 15 tahun dengan dakwaan membahayakan keamanan negara setelah ia menulis essai dan bersedia diwawancara oleh jurnalis Hongkong menyusul protes Juli 2009. Padahal Hairat yang juga mantan redaktur media online itu dulu dianggap sebagai pro pemerintah.

Kelompok hak asasi menuduh Cina menggunakan kedok kebijakan anti-terorism dalam penindasan terhadap Muslim Uighur. Muslim juga menuding pemerintah sengaja menggiring jutaan etnis Han masuk ke lingkungan mereka untuk menggusur identitas dan budaya mereka.

Pengamat mengatakan kebijakan pemindahan etnis Han ke Xinjiang demi menyolidkan otoritas Beijing terus didorong. Kini proporsi Han dalam wilayah itu meningkat tajam, dari hanya 5 persen pada 1940-an menjadi lebih dari 40 persen saat ini.

Beijing memiliki alasan. Wilayah luas Xinjiang adalah aset berharga karena terletak di lokasi yang strategis, dekat Asia Tengah dan di sana terdapat cadangan minyak dan gas sangat besar.

sumber : Onislam.net
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement