Senin 16 Apr 2018 16:05 WIB

Muazin Pertama dalam Sejarah Islam

Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah SAW hidup.

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Azan (ilustrasi)
Foto: forsil.org
Azan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bilal bin Rabah Al-Habasyi, atau biasa dipanggil Abu Abdillah, dijuluki sebagai Muadzdzin Ar-Rasul (pengumandang azan Rasul). Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ia berpostur tubuh tinggi, kurus, warna kulitnya cokelat, pelipisnya tipis, dan rambutnya lebat.

Ibunya adalah hamba sahaya (budak) milik Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumuh. Bilal menjadi budak mereka, hingga akhirnya ia mendengar tentang Islam, lalu ia menemui Nabi dan mengikrarkan diri masuk Islam.

Saat Rasulullah SAW melakukan hijrah ke Madinah, Bilal turut serta bersama Rasul. Ketika Masjid Nabawi selesai dibangun, Rasulullah SAW mensyariatkan azan. Rasulullah SAW kemudian menunjuk Bilal untuk mengumandangkan azan, karena ia memiliki suara yang merdu. Lalu, Bilal mengumandangkan azan dan menjadi muazin pertama dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah SAW seraya berseru, ''Hayya ‘alash-shalaati Hayya ‘alash-Shalaati (Mari melaksanakan shalat, mari meraih shalat).” Lalu, ketika Rasulullah SAW keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Ketika Rasulullah SAW menaklukkan kota Makkah, beliau berjalan di depan pasukan Muslim bersama Bilal. Saat masuk ke Ka'bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang sahabat, yaitu Utsman bin Thalhah, Usamah bin Zaid, dan Bilal bin Rabah.

Shalat Zuhur pun tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah SAW, termasuk orang-orang kafir Quraisy yang baru masuk Islam saat itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah SAW memanggil Bilal agar naik ke atap Ka'bah untuk mengumandangkan azan. Bilal melaksanakan perintah tersebut dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas. Azan itu adalah azan yang pertama dikumandangkan di Makkah.

Ribuan pasang mata memandang ke arah Bilal dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, ''Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)''. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, ''Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.'' Maksud Juwairiyah adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah SAW hidup. Sesaat setelah beliau menghembuskan napas terakhir, Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah SAW masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, ''Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)'', tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum Muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis.

Dalam Shuwar min Hayaatis Shahabah karya Dr Abdurrahman Ra’fat Basya dipaparkan bahwa sejak kepergian Rasulullah SAW, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai pada kalimat, ''Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaahi,” ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum Muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Sejak saat itu, Bilal tak pernah mengumandang azan kembali, hingga diminta oleh Khalifah Umar bin Khattab saat mengunjungi Bilal di Syam. Itu pun, azan yang dikumandangkannya tak pernah selesai. Karena begitu cintanya Bilal terhadap Rasulullah SAW. Ia selalu menangis, bila nama Rasulullah, orang yang paling dicintainya ini disebut-sebut dalam setiap kesempatan. Itulah Bilal, muazin pertama dalam Islam, dan merupakan salah satu sahabat Rasul yang sangat dimuliakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement