Jumat 06 Apr 2018 06:28 WIB

Gaji yang Ditangguhkan

Banyak siswa pada masa itu tak banyak memiliki uang menggaji gurunya.

Ilmuwan Muslim.
Foto: Metaexistence.org
Ilmuwan Muslim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terkadang biaya menjadi sebuah kendala. Terutama bagi para siswa yang tak banyak memiliki uang untuk menggaji gurunya. Maka, para siswa berbakat biasanya menjanjikan pembayaran gaji kepada gurunya setelah mendapat jabatan usai menempuh pendidikan.

Ada pula yang menjanjikan hadiah berharga bagi gurunya. Ini terjadi pada seorang pengajar bernama Al-Mahri, yang hidup pada abad ke-8. Ia merupakan ahli sejarah, ahli leksikografi, penyair, dan pakar syair-syair Arab kuno dari Qairawan, Afrika Utara.

Pada suatu masa, saat Al-Mahri berkumpul dengan koleganya di sebuah taman dekat rumahnya, datang seorang utusan dari mantan muridnya. Utusan tersebut menyerahkan 20 ekor lebih keledai yang dapat membawa bahan pangan seperti madu, cuka, dan minyak.

Selain itu, sang utusan juga menyerahkan sekantong uang sejumlah 20 dinar. Di lain waktu, Al-Mahri kembali mengalami kejadian serupa. Saat ia ke pasar untuk membeli gandum, ia bertemu dengan seorang mantan siswanya.

Pertemuan itu membawa sebuah berkah. Sebab, mantan siswanya itu memberi sekantong uang yang tampaknya bisa digunakan Al-Mahri untuk membeli gandum sebanyak yang ia mau. Setelah siswa itu memberikan kantong uang itu, ia membukanya.

Dugaan Al-Mahri bahwa kantong itu berisi uang perak ternyata salah. Kantong itu berisi uang emas sejumlah 50 dinar. Ia mengira mantan siswanya itu salah memberikan uang tersebut, maka ia pun segera menanyakan ihwal uang dinar itu.

Al-Mahri mengatakan, apa mungkin terjadi kekeliruan atas pemberian uang dinar kepada mantan siswanya itu. Sebaliknya, siswanya mengatakan bahwa ia merasa malu karena tidak bisa memberikan hadiah yang lebih besar dari itu.

Namun, ada pula cendekiawan yang merasa cukup dengan harta yang dimilikinya. Mereka menolak imbalan yang dianggapnya berlebih. Seorang filsuf yang juga dokter, Abu al-Fath Abd al-Rahman, pernah menolak pemberian sekantong uang yang berisi 1.000 dinar yang dikirimkan oleh Sultan Sanjar.

Abu al-Fath pun mengungkapkan alasannya. Pada saat itu, ia menyatakan masih memiliki uang sebanyak 10 dinar. Ia hanya membutuhkan tiga dinar untuk memenuhi kebutuhan belanja tahunannya.

Di kesempatan lain, seorang istri bangsawan, Lahi Akhur Beg, mengirimkan uang yang sama jumlahnya, Abu al-Fath juga menolaknya. Ada pernyataan yang diungkapkan seorang dokter yang juga filsuf, Ali al-Manadili, mengenai fenomena kezuhudan itu. Ia pun melakoninya.

Menurut Ali, apa pun yang diperoleh di dunia ini sesungguhnya akan menuntut dan menghajatkan sesuatu yang lain. Maka ia menyimpulkan, seorang penghamba dunia sesungguhnya orang fakir yang selamanya membutuhkan.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement