Jumat 16 Mar 2018 14:02 WIB

Ushul Fikih, Metode yang Sistematis

Ushul fikih metode kuat pengambilan hukum.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Buku-buku fatwa (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Buku-buku fatwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmu ushul fikih, sebagai suatu disiplin ilmu, pertama kali disusun oleh Imam Syafi'i pada abad ke-2 Hijriyah. Prof Muhammad Abu Zahrah dalam Ushul Fiqih, mengungkapkan, ushul fikih tumbuh bersama-sama dengan ilmu fikih. Hanya, ilmu fikih dibukukan lebih dahulu dibandingkan ushul fikih.

“Dengan tumbuhnya ilmu fikih, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Metode itu tak lain adalah ushul fikih,” ungkap Prof Abu Zahra.

Menurut Ensiklopedia Islam, sebagai suatu teori yang belum disistematisasikan, metode-metode yang digunakan dalam menetapkan hukum dari Alquran dan sudah ada bibitnya sejak zaman Rasulullah SAW.

Sehingga, menurut Ensiklopedi Islam, fikih dan ushul fikih muncul bersamaan diawali sejak zaman risalah. Prof Abu Zahrah mengungkapkan, sebagai produk ijtihad, fikih lahir pada zaman sahabat. Dalam berijtihad, tentu saja para sahabat menggunakan kaidah ushul fikih, meskipun pada era itu belum tersusun sebagai suatu disiplin ilmu.

“Para sahabat, seperti Ibnu Mas'ud, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Khattab tak mungkin menetapkan hukum tanpa adanya dasar dan batasan,” ujar Prof Abu Zahrah. Ia mencontohkan, ketika Ibnu Mas'ud menetapkan fatwa bahwa iddahnya perempuan yang ditinggal mati oleh suami pada saat sedang hamil adalah sampai melahirkan.

Ibnu Mas'ud mendasari fatwanya itu pada Alquran surah at-Thalaq ayat 4. “Dan perempuan-perempuan yang hamil. Waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Ibnu Mas'ud menetapkan fatwanya itu berdasarkan asumsi bahwa surah at-Thalaq turun setelah surah al-Baqarah.

“Cara ini mengisyaratkan pada satu kaidah ushul fikih bahwa ayat yang turun kemudian (akhir) me-nasakh (menghapus) ayat yang turun terlebih dahulu atau me-nakhsis-nya. Fakta itu, menurut Prof Abu Zahrah,  membuktikan bahwa cara-cara penetapan hukum pada zaman sahabat telah menggunakan metode ushul fikih.

Menurut Ensiklopedi Islam,  upaya untuk menentukan suatu peristiwa yang tak ada nasnya dalam Alquran dan sunah semakin meluas di zaman tabiin. Ketika itu, masalah yang muncul di tengah-tengah umat semakin kompleks. Sehingga, para ulama, seperti Sa'id bin Musayyab di Madinah, Alqamah bin waqqas al-Lais dan Ibrahim an-Nakhai di Irak, serta Hasan al-Basri di Basrah mengeluarkan fatwa.

“Dalam berfatwa mereka merujuk pada Alquran, sunah Rasulullah, fatwa sahabat, ijmak, qiyas,  dan maslahah mursalah (sesuatu yang mendatangkan kebaikan),” ujar Prof Satria Effendi Muh Zein dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Pada masa itu, kata dia, terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan hujah atau dalil hukum, dan tentang kesepakatan penduduk Madinah apakah dapat dipegang sebagai ijmak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement