Selasa 13 Mar 2018 16:01 WIB

Kampung Bawah Tanah Tunisia yang Terancam Ditinggalkan

Perkembangan ekonomi membuat warga kampung bawah tanah hijrah ke kota.

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agung Sasongko
Hunian bawah tanah di Matmata.
Foto: le-voyage-autrement.com
Hunian bawah tanah di Matmata.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warga kampung-kampung bawah tanah Tunisia se ring kali dipandang sebagai warga kelas ke tiga. Kebijakan perencanaan terhadap daerah itu cenderung negatif. Matmata terisolasi dari dunia luar hingga sebuah jalan yang menghubungkan Matmata dengan Gabes dibangun.

Saat berkunjung ke Matmata pada 1956, Presiden pertama Tunisia Habib Bourguiba berjanji membangun Matmata Baru. Pada 1961, sebanyak 300 rumah dibangun di atas tanah di area dekat jalan yang menghubung kan Matmata dengan Gabes. Mereka yang tinggal di Matmata Baru itu bahkan, bukan warga asli dan tak pernah me ra sakan hidup di hunian bawah tanah.

Generasi muda juga menganggap rumah bawah tanah sebagai hal kuno, gelap, dan minim ventilasi. Sebagian besar mereka memilih membuat tem pat tinggal di atas tanah meski seba gian besar mereka harus meng akui tempat tinggal bawah tanah lebih nyaman, baik pada musim dingin maupun panas.

Perkembangan ekonomi juga menarik para lelaki bekerja ke kota, meninggalkan istri, anak-anak, orang tua, dan tempat tinggal bawah tanah mereka di Matmata. Kampung bawah tanah itu makin lengang, hanya ada 10 orang tiap kilometer persegi area. Sejak 1956 hingga 1961, populasi di Matmata turun 2,1 persen.

Pada 1961- 1966, populasi di sana turun 1,9 persen dan sejak 1966 hingga 1973, populasi Matmata susut 87 persen. Yang paling mudah terlihat adalah dengan makin sedikitnya anak-anak yang mendaftar ke sekolah di Matmata.

Berdasarkan laporan Pemerintah Tunisia pada 1973, Matmata Baru semula tak berhasil. Rumah-rumah di atas tanah dianggap tidak nyaman di banding dengan tempat tinggal di ba wah tanah di Matmata Lama. Selain itu, harga rumah di atas tanah juga mahal, konstruksinya jelek, biaya perawatan nya juga mahal, dan kurang menjaga ruang privat. Dapurnya butuh kompor dan tidak dibolehkan ada dapur terbu ka. Akibatnya, hanya sedikit warga Mat mata Lama yang mau pindah ke sana.

Pemerintah sendiri hampir menyerah dan akan memindahkan segala layanan pemerintahan dari sana. Kondisi kemudian berubah pada 1970 ketika sebuah dam selesai dibangun pemerintah. Layanan umum seperti air dan listrik mulai dipasang pada 1972. Insentif ini berhasil menggugah warga Matmata Lama untuk pindah ke Matmata Baru.

Meski begitu, pada pertengahan 1970-an, hanya 86 dari 300 rumah di Matmata Baru yang dihuni warga Mat mata Lama. Itu pun kebanyakan me re ka adalah generasi muda de ngan pendidikan lebih baik. Banyak war ga Matmata Lama yang diminta war ga kampungnya untuk tidak pin dah bila tak ingin kehilangan status sosial mereka.

Matmata Lama adalah ibu kota dan pusat pemerintahan dari delapan kam pung lain di sekitarnya. Pada 1972, pen duduk bekerja di Matmata hanya 979 orang atau sepertiga dari total war ga. Dari jumlah warga yang bekerja itu, se banyak 41 persennya bekerja di perta ni an lokal, lima persen pedagang pa sar, enam persen pekerja pemerin tah an, enam persen bekerja di pari wi sata, dan delapan persen bekerja mem buat kerajinan tangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement