Selasa 23 Jan 2018 18:00 WIB

Riwayat Perfilman di Dunia Islam

Sebagian kontak pertama antara sinema dan Dunia Islam adalah melalui keluarga keraja

Ilustrasi Film
Foto: pixabay
Ilustrasi Film

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --  Sebagai bagian dari entitas dunia yang terus berkembang, negara-negara Islam juga banyak bersinggungan dengan produk sebuah teknologi. Salah satunya ialah produksi film.

Mengaca pada sejarah, sebagaimana dikutip dari Ensiklopedi Exford Dunia Islam Modern, berbicara mengenai dinamika sinema atau film berkaitan erat dengan industrialisasi Barat. Tak terkecuali dengan geliat perfilman di kawasan-kawasan yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Sebagian kontak pertama antara sinema dan Dunia Islam adalah melalui keluarga kerajaan. Di Kesultanan Us mani yah, pemutaran film yang pertama berlangsung di Istana Sultan di Istanbul. Di Teheran, sebuah sinematograf yang diperoleh saat kunjungan ke Paris pada 1900 dan dioperasikan oleh fotografer istana, menjadi hiburan yang digemari oleh para anggota Dinasti Qajar.

Selang berapa lama dari periode itu, akhirnya film mulai menjadi konsumsi publik dan tidak hanya didominasi oleh keluarga kerajaan. Di Teheran dan Istan bul, fenomana itu mulai muncul pada 1905, di Aleppo 1908, dan masyarakat Baghdad mulai menikmati film pada 1909. Tak pelak, kehadiran ‘barang baru’ itu, oleh sebagian kalangan menuai ke cam an dan penolakan keras, terutama oleh kelompok Islam garis keras. Mereka tidak peduli sekalipun yang bertanggung jawab atas pemutaran itu adalah warga lokal.

Sebut saja, misalnya, yang terjadi di Tunisia. Wirausahawan yang berada di balik pemutaran film-film di Tunisia ialah Albert Samam. Ia dikenal juga dengan julukan Chikly. Di era-era tersebut, komunitas Muslim masih menjadi konsumen. Dan, sebagian besarnya diproduksi oleh orang asing. Misalnya saja, De Lagarne, warga berkebangsaan Prancis yang aktif memproduksi film di Mesir pada 1912.

Hingga periode 1930-an dan akhir Perang Dunia II, produksi film di banyak bagian Dunia Islam tergolong masih rendah. Di Lebanon, misalnya. Negara yang disebut-sebut sebagai daerah dengan tingkat pengunjung bioskop ter tinggi di Dunia Arab, hanya delapan film panjang dibuat antara 1930 dan 1952. Bahkan, di Suriah atau Irak, produksi film tidak ada aktivitasnya sama sekali.

Peningkatan pesat terjadi di era 1945-an ke atas. Periode tersebut me nyaksikan adanya ledakan produksi di berbagai belahan Dunia Islam. Di Mesir, tahun-tahun pascaperang adalah perio de perkembangan yang pesat. Hal ini karena tingkat produksi naik menjadi lebih dari 50 judul setahun. Kondisi ini stabil dan tetap bertahan hingga 1990- an. Sebagai dampaknya, film besutan Mesir tersebut merajai pasar dengan ‘propaganda’ atas dialak ‘amiah’lokal khas Mesir. Sebagian besarnya berupa film melodrama dan cerita jenaka dengan dukungan lagu dan tari.

Di Turki bahkan perkembangan sinema terlihat tampak lebih semarak. Peningkatan produksi film juga terjadi secara signifikan. Pada 1947, tercatat hanya dua film. Jumlah itu meningkat menjadi 35 film pada awal 1960-an. Puncaknya, produksi itu kian melesat pada 1972. Total film yang berhasil diproduksi mencapai 298 film panjang.

Tak kalah dengan Turki, dinamika perfilman di Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim tersebut, juga menorehkan prestasi. Produksi mening kat dari delapan film panjang pada 1949, menjadi 124 film pada 1977. Sepanjang 1980-an lebih 50 film panjang dalam setahun meskipun sempat mengalami penurunan pada 1990-an. Prestasi ini juga mengantarkan film-film produksi sutradara Indonesia mendominasi perfilman Malaysia. Yang konon, sempat terpuruk meskipun pemerintah mereka berupaya keras mendorong kemajuan perfilman mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement