Selasa 16 Jan 2018 17:15 WIB

Melawan Budaya Kolonial

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Pulau Jawa
Foto: IST
Pulau Jawa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1816, Inggris meninggal kan Nusantara, sehingga Belanda kembali berkuasa.Namun, Kesultanan Yogyakarta terlanjur menjadi negara boneka yang begitu lemah. Kali ini, Belanda memberlakukan liberalisasi, sehingga tanah-tanah di Jawa disewakan kepada swasta asing untuk diambil pajaknya.

Patih Danurejo I mendukung kebi jakan Belanda ini. Wafatnya Sultan Ha mengkubuwono IV di usia 19 tahun kian mengguncang tatanan keraton. Penggantinya, Pangeran Menol, kala itu baru berusia tiga tahun, sehingga jalannya pemerintahan ditentukan dewan yang diisi antara lain Pangeran Diponegoro.

Hingga 1822, menurut data yang dihim pun Peter Carey, tidak kurang dari 115 desa te lah disewakan kepada orang-orang Eropa dan Cina di Yogyakarta. Penduduk tem pat an banyak yang kemudian menjadi tenaga ker ja paksa. Lahan sewaan biasanya dita na mi tanaman-tanaman bernilai ekspor yang menguntungkan penyewa di pasar Eropa.

Selain itu, pajak tanah juga kian membelenggu rakyat. Di keraton, gaya hidup kebarat-baratan menjamur, mulai dari busana, kebiasaan menenggak minuman keras, hingga bermain kartu. Pangeran Diponegoro mengecam masuknya adat istiadat Eropa ke keraton dan penindasan atas rakyat biasa.

Kebencian semakin memuncak terhadap kaum ningrat yang mesra dengan kolonial. Di lapangan, rakyat sangat menderita akibat pencaplokan tanah, begitu banyak pajak, serta kerja tanpa upah.Pemungutan pajak terjadi hampir di setiap ruang publik--siapa pun yang melalui gerbang penarikan cukai, mesti membayar--sehingga harga-harga barang naik tak karuan.

Suatu pemberontakan sempat terjadi, sehingga membahayakan orang-orang Eropa dan Cina. Namun, hampir tidak ada du kungan yang berarti dari keraton. Sebagai protes lantaran keraton tunduk pada kolonial, Pangeran Diponegoro me nyingkir ke Tegalreja. Setelah itu, Pa ngeran Diponegoro men dirikan pesantren yang diisi santri-santri militan anti-Belan da. Dia juga meng unjungi banyak masjid dan desa untuk menggalang aspirasi rakyat.

Banyak ulama lokal mengikuti perjuang an nya. Mereka antara lain Kiai Maja, Kiai Baderan, Kiai Kwaron, dan Kiai Ha san Besari. Dari kalangan Keraton juga ada yang memihak kepadanya. Demikian ke terangan dari sejarawan Ahmad Mansur Sur yanegara dalam Menemukan Sejarah(1995).

Peter Carey dalam Asal Usul Perang Jawamenjelaskan detik-detik menjelang Perang Diponegoro. Pada 20 Juli 1825, sejumlah pasukan Belanda yang dipimpin Chevallier mengepung Tegalreja. Pangeran Mangkubumi, yang awalnya diutus Be landa untuk berunding dengan Pangeran Diponegoro, justru berbalik mendukung keponakannya itu.

Perundingan ini dilatari sikap keras Pangeran Diponegoro yang menolak jalan menuju Tegalreja dilalui proyek Belanda. Pa suk an sang pangeran pun mengganti tong gak pemancang jalan dengan bam bu runcing sebagai tanda siap ber tempur.

Meskipun Tegalreja dapat dikuasai, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya ber hasil meloloskan diri. Sang pangeran dan para pengikutnya tiba di Selarong, sekitar 15 kilometer dari keraton. Tempat ini memang telah disiapkan sebagai mar kas.Setelah itu, tidak kurang dari 77 orang kalangan keraton meninggalkan istana untuk bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Di antaranya adalah Pa nge ran Adinegoro, Pangeran Panular, Adi wi noto Suryodipuro, Pangeran Ronggo, Nga bei Mangunharjo, dan Pangeran Surenglogo.

Kiai Mojo dari Surakarta datang untuk ber gabung dengan kubu Dipone goro.De mi kian pula Alibasya Sentot Prawirodirjo da ri Madiun. Daerah-daerah lain juga me nyu sul dukungan bagi Pangeran Diponegoro.

Seperti diungkapkan dalam Babad Diponegoro, latar belakang sang pangeran angkat senjata melawan Belanda lebih sebagai upaya mengukuhkan tatanan Islam di Tanah Jawa. Karena itu, Suryanegara menjelaskan, pertempuran ini dari sudut pandang Pangeran Diponegoro disebut perang sabil (jihad fi sabilillah).Visi itulah yang jamak didukung para pengikutnya, khususnya dari kalangan santri atau kawula biasa.

Terdesak Dalam periode 1825-1826, kubu Belanda terdesak. Apalagi, pada saat bersamaan di Sumatra Barat, Belanda menghadapi per lawanan dari kaum Padri. Untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro, gubernur jenderal de Kock melancarkan strategi benteng stelsel, antara lain di Purworejo, Ambarawa, dan Salatiga.

Strategi ini belakangan cukup mampu menekan pasukan Diponegoro. Sejumlah ningrat yang mendukung Pangeran Diponegoro pun ada yang tertangkap atau harus menyerah kepada Belanda. Kiai Mojo menyerah, sehingga ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Minahasa.

Alibasya Sentot Prawirodirjo, yang masih berusia muda tetapi tampil brilian sebagai pengatur strategi, juga menyerah.Awalnya, Belanda mencoba memanfaatkan Sentot untuk meredam Perang Padri. Namun, Sentot agaknya cukup bersahabat dengan kaum Padri, sehingga Belanda membuangnya ke Bengkulu.

Pada 1829, jumlah pasukan Diponegoro yang tewas mencapai 200 ribu jiwa. Satu tahun kemudian, Pangeran Dipone goro me nyatakan bersedia berunding de ngan Be landa. Pada 28 Maret 1830, jenderal de Kock menemui Pangeran Diponegoro di Magelang.

Perundingan berlangsung alot, tetapi kubu Belanda begitu licik. Saat itu juga, Pangeran Diponegoro diringkus. Awalnya, sang pangeran dan sejumlah pengikutnya dibawa ke Ungaran, lalu ke Karesidenan Se marang. Dari sana, mereka bertolak ke Ba tavia pada 5 April 1830. Sepekan kemudi an, Pangeran Diponegoro tiba dan ditahan di Stadhuis (kini menjadi Museum Fatahillah).

Atas keputusan gubjen van den Bosch, Pangeran Diponegoro, keluarga, dan pengikutnya dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Ruang geraknya hanya sebatas empat kamar di Benteng Nieuw Amsterdam. Sejak di sini, sang pangeran mulai punya waktu untuk merencanakan impiannya berangkat haji--cita-cita yang sampai akhir hayatnya tak terwujud. Di Manado pula, Pangeran Diponegoro mulai menyusun autobiografinya.

Pengasingan ke Makassar Dengan pelbagai pertimbangan politis, pada 1834, van den Bosch diam-diam memin dahkan Pangeran Diponegoro dan keluarga ke Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelumnya, gubjen itu mengusulkan pemindahan sang pangeran ke negeri Belanda sebagai tahanan lokal, tetapi usul ini ditolak Ratu Belanda. Pada 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro mengembuskan napas terakhir. Jasadnya dimakamkan tidak jauh di utara Makassar.

Demikianlah, dalam Perang Diponegoro (1825-1830) untuk pertama kalinya pe nguasa kolonial Eropa menghadapi perlawanan akbar dari masyarakat Jawa. Tidak kurang dari dua juta orang atau se kitar 30 persen dari total penduduk Jawa saat itu terseret dalam medan pertem puran.Dari jumlah tersebut, sebanyak 200 ribu orang menjadi korban jiwa. Hampir seperempat wilayah di Pulau Jawa pun mengalami kerusakan berat akibat konflik ini.Demikian data yang dihimpun Peter Carey.

Pihak Belanda juga menderita, meskipun tidak separah Pribumi Jawa. Mereka kehilangan delapan ribu personel tentara.Jumlah itu di luar 7.000 korban jiwa dari pasukan suruhan Belanda yang berdarah Pribumi. Perang yang dikobarkan Pangeran Diponegoro itu menguras biaya seki tar 20 juta gulden. Untuk menutupi keru gian finansial dari pertempuran ini, pe merintah kolonial menggariskan peraturan yang sangat menyengsarakan rakyat, yakni sistem tanam paksa. Gubernur jen deral Johannes van den Bosch memberlakukannya hingga tahun 1870.

(Baca Dulu: Pangeran Diponegoro) 

(Baca Juga: Melawan Penjajah dengan Taraket)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement