Selasa 17 Oct 2017 13:45 WIB

Memahami Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari

Sejumlah santri di sebuah pondok pesantren (ilustrasi)
Foto: Antara/Arief Priyono
Sejumlah santri di sebuah pondok pesantren (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejarah mencatat, loyalitas para ulama dan kaum santri terhadap bangsa Indonesia tidak pernah lekang walau dalam kondisi darurat sekalipun. Ketika kaum Muslimin menghadapi dilema di antara kepentingan agama dan kepen tingan bangsa, para kiai (sebutan untuk ulama di kalangan masya rakat Jawa—Red) mampu mengambil sikap politik kebangsaan yang tegas demi kemaslahatan umat. Fakta itu dapat dilihat dari sejumlah rekaman perjalanan sejarah republik ini.

Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indo nesia (17 Agustus 1945), pemerintah kolonial Belanda lewat organisasi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) berusaha menancapkan kembali misi penjajahannya di Tanah Air dengan membonceng tentara Sekutu.

Menghadapi situasi ter sebut, KH Hasyim Asy'ari (pen diri NU) bersama ulama-ulama lainnya di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada 21- 22 Oktober 1945. Para ulama itu lantas mendeklarasi kan perang mempertahankan kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad.

Belakangan, deklarasi tersebut lebih dikenal dengan istilah 'Resolusi Jihad'. Isinya antara lain menegaskan bahwa mem bela Tanah Air hukumnya ada lah fardhu ain (kewajiban yang bersifat perorangan) bagi setiap orang Islam di Indonesia. Dalam resolusi itu ditegaskan pula bahwa kaum Muslimin yang berada dalam radius 94 km dari pusat pertempuran wajib ikut berperang melawan Belanda.

"Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari termasuk salah satu faktor penentu berlanjut atau tidaknya kemerdekaan Indo nesia," tulis Gunaji dalam skripsi berjudul "Resolusi Jihad NU 1945: Peran Politik dan Militer NU dalam Memper tahan kan Kedaulatan NKRI" yang dipublikasikan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement