Kamis 05 Oct 2017 17:00 WIB

Larangan Cadar yang Melukai Muslim Austria

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Agung Sasongko
Para peserta unjuk rasa antipelarangan cadar di muka umum. (ilustrasi)
Foto: AP
Para peserta unjuk rasa antipelarangan cadar di muka umum. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Baru-baru ini terjadi kembali diskriminasi di Austria. Dari sekitar sembilan juta orang Austria, terdapat sebanyak 700 ribu muslim.

Antara 100 sampai 150 wanita Muslim - atau 0,002 persen - mengenakan cadar. Namun kebebasan mereka dalam beragama ini terancam oleh aturan yang mulai berlaku di Austria pada bulan ini.

Larangan penutup wajah lengkap, atau memakai cadar, mulai berlaku di Austria awal Oktober 2017. Undang-undang baru menyatakan bahwa wajah harus terlihat dari garis rambut sampai dagu di tempat umum. Polisi Austria bahkan diizinkan menggunakan kekerasan untuk membuat orang menunjukkan wajah mereka dan dapat mengenakan denda sebesar 150 Euro.

Aktivis dan ahli telah mengecam sebuah undang-undang yang diterapkan di Austria pada hari Minggu yang melarang kerudung wajah sebagai "kontraproduktif" dan sebagai "serangan terhadap kebebasan beragama". Undang-undang tersebut, yang umumnya dikenal sebagai "larangan Burqa," mulai berlaku sebelum pemilihan umum pada tanggal 15 Oktober.

Pakaian itu menutupi seluruh tubuh dan wajah kecuali mata, tapi pelanggar sekarang bisa menghadapi denda hingga 150 Euro. Pemerintah Austria mengatakan bahwa undang-undang tersebut melindungi nilai-nilai Austria dan konsep masyarakat bebas.

Pejabat pemerintah Austria telah dengan hati-hati memasarkan undang-undang tersebut, yang disebut "Larangan Penutupan Wajah", karena bersikap netral terhadap agama karena juga membatasi pemberian masker medis, topeng pesta, dan syal di depan umum. Meskipun begitu, para aktivis dan ahli telah mengecam sifat hukum tersebut sebagai "kontraproduktif" dan "Islamofobia".

Carla Amina Baghajati, seorang aktivis hak asasi manusia dan juru bicara Otoritas Agama Islam Austria, sebuah institusi publik yang mewakili umat Islam, mengatakan bahwa hukum tersebut mengancam konsep masyarakat terbuka.

"Mereka percaya bahwa mereka 'membebaskan wanita-wanita ini' dan mereka mengambil tindakan untuk mendapatkan identitas Austria, tapi ini munafik karena gagasan masyarakat terbuka adalah bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk bertindak dan berpakaian sesuka hati selama tidak ada orang lain yang dirugikan," ujar Baghajati kepada Aljazeera.

"Para wanita ini sedang dikriminalisasi Semua orang berpikir bahwa mereka adalah korban, tapi Anda tidak bisa merendahkan mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak ingin dibebaskan karena mereka sudah bebas dan memilih untuk memakai jilbab," kata Baghajati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement