Senin 04 Sep 2017 19:45 WIB

Tradisi Klasik Ramadhan di Dunia Islam

Pengunjung melihat produk hiasan lampu di salah satu stand pameran Trade Expo Indonesia (TEI) 2016 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu (12/10).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pengunjung melihat produk hiasan lampu di salah satu stand pameran Trade Expo Indonesia (TEI) 2016 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu (12/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada beragam tradisi memeriahkan dan menghidupkan Ramadhan di berbagai dunia Islam. Sebagiannya atau nyaris keseluruhannya memang belum pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Tetapi, tak jadi soal. Ini soal tradisi dan budaya yang berangkat dari kearifan lokal.

Unik sekaligus mengundang ketertarikan lintas generasi. Tiap daerah memiliki tradisi masing-masing. Ikhtiar sederhana masyarakat lokal untuk memberi keistimewaan bulan suci itu. Berikut ini sejumlah tradisi yang khas berlaku di Timur Tengah selama Ramadhan berlangsung:

Lentera Hias

Fawanis, lampu hias ini mudah ditemui sepanjang Ramadhan di kawasan Timur Tengah, terutama Mesir.  Kata fawanis sendiri adalah bentuk jamak dari kata fanus. Kata yang berarti lampu itu berasal dari bahasa Yunani.

Tradisi memasang lampu ini belum begitu dikenal di Negara Piramid ini, hingga pada 358 Hijriyah, warga Mesir menggunakannya sebagai penerang jalan. Mereka menyambut kedatangan al-Muiz Lidinillah ke Mesir. Peristiwa itu bertepatan dengan Ramadhan. Sejak itulah, fawanis menjadi ikon Ramadhan di Mesir.

Penggugah Sahur

Ini fenemona unik yang mulai tergerus zaman. Di Arab Saudi, pelakunya dijuluki az-zam zami, di Kuwait disebut Abu Thubailah, dan di Mesir akrab dikenal dengan al-mushirati. Mereka memiliki gaya, media, dan yel-yel yang berbeda-beda sesuai dengan tabiat tiap-tiap negara. Liriknya berisikan ajakan dan seruan bangun sahur.

Gubernur Mesir Atabah bin Ishaq pada era pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, Al-Munthashir Billah (861-862 M), disebut-sebut sebagai almushirati pertama. Ia berkeliling Kairo pada 238 H untuk membangunkan sahur warga. 

Dentum Meriam 

Kebiasaan itu muncul secara tak sengaja. Pada 865 H, penguasa Dinasti Mamluk, Khasyqadam, tengah menjajal meriam baru. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan saat berbuka puasa. Suara dentum meriam terdengar keras seantero Kota Kairo.

Tak cuma isyarat berbuka, suara meriam itu pun dipakai untuk penanda saat sahur dan imsak. Dari Mesir, fenomena ini menjalar ke wilayah sekitar. Di Suriah, Palestina, Irak, dan Kuwait, Yaman, serta negara Afrika antara lain Sudan, Chad, Nigeria, dan Mali. Bahkan, pada 1944 Indonesia pernah pula mengikuti tradisi ini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement