Selasa 22 Aug 2017 16:15 WIB

Al-Qarawiyyin Bukti Wakaf Lahirkan Peradaban

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Jam Al - Qarawiyyin
Foto: wordpress
Jam Al - Qarawiyyin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakaf merupakan instrumen yang efektif untuk membina peradaban. Cukup banyak, misalnya, institusi pendidikan tinggi di dunia Islam yang lahir dan terpelihara dengan baik berkat wakaf. Di antaranya adalah Universitas al-Qarawiyyin (Maroko), Universitas al-Azhar (Mesir), Zaytuna (Tunisia), dan Nizamiyyah (Persia). Sampai hari ini, warisan intelektual mereka masih terus berkontribusi meningkatkan kualitas kemanusiaan mondial.

Al-Qarawiyyin diakui sebagai cikal bakal konsep universitas modern. Awalnya, ia merupakan masjid yang berlokasi di Fez, Maroko. Sejak 859 Masehi, masjid ini meluas fungsinya menjadi pusat aktivitas belajar-mengajar untuk publik. Fatimah al-Fihri (wafat 880) merupakan sosok penting di balik pendirian Universitas al-Qarawiyyin. Putri saudagar Fez, Muhammad al-Fihri, mewariskan kekayaan dalam jumlah besar ketika orang tua dan saudara laki-lakinya wafat.

Saat itu, Fatimah hanya tinggal dengan saudara perempuannya, Maryam. Dalam kondisi kaya raya, anak-anak al- Fihri itu tidak ingin menumpuk harta untuk kepentingan pribadi. Sebagai orang terpelajar, keduanya lebih suka menginvestasikan aset-aset tertentu milik keluarganya demi kebermanfaatan sosial.

Mereka memilih jalan wakaf. Maryam, antara lain, memutuskan untuk membangun Masjid al-Andalus di atas lahan miliknya di Fez. Sementara itu, di Fez pula pada 859 Fatimah mendirikan Masjid al-Qarawiyyin.

Masjid kerap menjadi pusat interaksi sosial. Fatimah tidak ingin Masjid al-Qarawiyyin sekadar tempat ibadah. Beberapa waktu setelah al-Qarawiyyin berdiri, dia berinisiatif menyumbangkan perpustakaan pribadi keluarganya untuk kepentingan publik, utamanya jamaah masjid. Perpustakaan itu merupakan salah satu yang termegah di Afrika Utara.

Berbagai kegiatan intelektual pun berlangsung semakin giat di sana. Awalnya masih berupa tradisional, yakni seorang alim duduk menerangkan suatu materi, sedangkan para murid duduk melingkar dan menyimaknya. Secara bertahap, aktivitas pendidikan kemudian terlembagakan sebagai Madrasah al-Qarawiyyin.

Masjid tersebut berdiri pada masa Dinasti Idrisi menguasai Maroko. Setelah kematian Fatimah pada 880, para sultan sambung-menyambung memberikan dukungan bagi keberlangsungan kegiatan akademik di Al-Qarawiyyin. Pada 956, Khalifah Abdurrahman III dari Kordoba memperbaiki masjid beserta madrasah di sekitarnya. Pada 1135 Sultan Ali bin Yusuf dari Dinasti Almoravid memperluas kompleks masjid dan madrasah tersebut hingga mencapai tiga ribu meter persegi.

Mayoritas penampakan Al-Qarawiyyin yang dapat dijumpai sekarang merupakan hasil restorasi Sultan Ali. Perbaikan kompleks religius-edukatif yang menyeluruh ini berlangsung dalam abad ke-16 atas perintah para sultan Dinasti Saadi.

Pada 1349, Sultan Abu Inan Faris memperkaya perpustakaan Al-Qarawiyyin dengan koleksi pribadinya. Di antara buku-buku yang terdapat di sana adalah kumpulan hadis sahih tulisan Imam Malik, Sirat Ibnu Ishaq dari abad kesembilan, salinan Alquran pemberian Sultan Ahmad al-Mansur adz-Zhahabi tahun 1602, dan salinan asli buku karya Ibnu Khaldun, Kitab al-Ibar, tahun 1396.

Al-Qarawiyyin tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, misal tafsir Alquran dan fiqih, tetapi juga sains, seperti ilmu kedokteran, astronomi, kimia, matematika, geografi, musik, serta tata bahasa Arab, retorika, dan logika. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kampus ini menghasilkan banyak ilmuwan kelas dunia.

Beberapa nama di antaranya adalah Abu Madhab al-Fasi (pemrakarsa studi fiqih mazhab Imam Maliki), Abu Abullah as-Sati, Abu al-Abbas az-Zawawi, Ibn Rashid as-Sabti (pakar hadis dan pengelana), Ibnu al-Hajj al-Fasi, Abu Imran, dan al-Idrisi. Adapun sosok-sosok semisal Ib nu al-Arabi, Ibnu Khaldun, Ibnu al- Kha tib, al-Bitruji, Ibnu Hirzihm, dan al- Wazzan diketahui memiliki hubungan akademis dengan Al-Qarawiyyin.

Selain kaum terpelajar Muslim, universitas ini juga terbuka bagi intelektual Kristen dan Yahudi. Mereka antara lain Musa bin Maymun (Maimonides), Leo Afri canus, Nicolas Cleynaerts, Golius, dan bahkan Paus Sylvester II (Gerbert dari Aurillac). UNESCO telah mengakui Al-Qarawiyyin sebagai warisan peradaban dunia.

Filsuf Prancis Roger Garaudy menyebut Al-Qarawiyyin sebagai percontohan pertama bagi pendirian kampus-kampus di Barat. Baru-baru ini, tepatnya pada 2016 perpustakaan klasik Al-Qarawiyyin direstorasi dengan mempertahankan nuansa aslinya dari abad kesembilan.

Sampai sekarang, ada lebih dari empat ribu manuskrip, termasuk kitab-kitab hadis dan Alquran dari zaman keemasan Islam, tersimpan rapi di sana. Masjidnya mampu menampung hingga 22 ribu orang jamaah.

Hingga kini, masyarakat tetap mewakafkan aset dan potensinya untuk Al-Qarawiyyin. Universitas dan masjid di dalamnya adalah bukti konkret wakaf yang menghasilkan peradaban yang bermakna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement