Sabtu 19 Aug 2017 22:34 WIB

Kecemasan Tatar Crimea

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Agung Sasongko
Krimea
Foto: grid.al
Krimea

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aneksasi Rusia atas Semenanjung Crimea pada tahun lalu membawa pengaruh cukup besar bagi kehidupan masyarakat di kawasan itu. Dampak tersebut juga dirasakan oleh komunitas Muslim Tatar yang sudah mendiami tanah Crimea selama berabad-abad.

Menurut laporan Irish Times, sebagian besar masyarakat Tatar sesungguhnya tidak menghendaki adanya kekuasaan Rusia di Crimea. Penolakan itu muncul lantaran kekejaman rezim Moskow di masa lalu masih membekas di dalam ingatan umat Muslim Tatar. Kini, bayang-bayang suram tersebut kembali menghantui mereka.

Seperti yang diungkapkan oleh Safinar Dzhemilev, misalnya, aneksasi Rusia di Crimea ternyata malah meletakkan masyarakat Muslim Tatar di bawah ketakutan. Sejak dulu, orang-orang Tatar Crimea punya kenangan buruk dengan para penguasa Rusia maupun Soviet. Mulai dari era pemerintahan Catherine Agung (1762  - 1796), Joseph Stalin (1922 - 1952), dan sekarang Vladimir Putin.

“Kami yakin, mereka semua ingin menyingkirkan kami, orang-orang asli Crimea,” tutur Safinar kepada Irish Times.

Suami Safinar, Mustafa Dzhemilev, yang juga merupakan salah satu tokoh Muslim Tatar, diusir dari Crimea lantaran dicap sebagai ekstremis oleh Pemerintah Rusia. Kini, Mustafa diketahui sedang berada di Kiev, Ukraina, terpisah jauh dari istrinya yang tetap bertahan di Crimea.

Ketika Rusia mengambil alih Crimea pada Maret tahun lalu, Pemerintah Moskow berjanji akan menghormati hak-hak etnis minoritas, termasuk umat Muslim Tatar. Namun, kenyataannya, ada 18 pemuda Tatar yang dilaporkan hilang secara misterius atau diculik dalam setahun terakhir.

Penghilangan, yang diduga kuat dilakukan oleh rezim Moskow, tersebut semakin menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat Tatar Crimea. Hal paling buruk sekarang ini adalah ketika orang-orang kami diculik, ditangkap, dipukuli, dan dibunuh. “Tidak ada lagi rasa aman bagi kami,” kata Safinar.

Hal serupa juga diungkapkan Ernes Ayserezli (26 tahun). Pemuda Tatar Crimea itu merasa kebebasannya kian terkekang sejak Rusia mencaplok tanah kelahirannya. “Hari ini, setiap kali saya mengunggah sesuatu di media sosial, saya selalu merasa tidak aman. Apalagi, ketika saya mengunggah berbagai berita tentang penculikan,” katanya seperti dikutip stasiun radio AS, NPR.

Ernes juga melihat adanya upaya Rusia untuk mengaburkan identitas etnis Tatar di Crimea. Hal itu tampak pada kebijakan Moskow yang memaksa orang-orang Tatar untuk mengubah data kependudukan mereka menjadi “warga negara Rusia sepenuhnya”. Jika tidak, maka mereka bakal kesulitan memperoleh akses pelayanan kesehatan, SIM, atau izin usaha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement