Kamis 17 Aug 2017 23:00 WIB

Jalan Terjal Dakwah Islam di Tajikistan

Muslim Tajikistan
Foto: zimbio.com
Muslim Tajikistan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama 20 tahun terakhir, setelah runtuhnya Uni Soviet, negeri yang masih belia ini mengalami proses interaksi yang unik sekaligus rumit antara rezim penguasa yang berpaham sekuler dengan kekuatan politik komunitas Muslim. Sebagian besar penduduk Tajikistan adalah Muslim Sunni.

Sejarah mencatat, pasukan Muslim menaklukkan kawasan tersebut pada 644 M. Selanjutnya, proses penyebaran Islam di wilayah itu harus melalui jalan yang terjal dan waktu yang lama. Selama beberapa abad, Ke kaisaran Samanid menguasai wilayah ini, menggantikan penguasa sebelumnya, yakni kaum Muslim Arab.

 

Di bawah Samanid, Kota Samarkand dan Bukhara ditata kembali menjadi lebih besar dan megah. Dua kota ini menjelma menjadi pusat kebudayaan bagi Muslim Sunni yang berbahasa Persia.

Pada masa itu, kunci penyebaran dan pengembangan budaya Islam dimainkan oleh tarekat sufi. Tarekat yang terbesar dan terkenal sampai saat ini adalah Naq sa ban diyah, Kubrawiyah, Qadiriyah, dan Yasa wiyah. Ada juga komunitas Ismailiyah yang tinggal di wilayah pegunungan terpencil. Saat ini, jumlah penganut tarekat Ismailiyah di Tajikistan mencapai 200 ribu orang atau sekitar tiga persen dari total penduduk.

Pada abad ke-19, Tajikistan masuk dalam wilayah Kekaisaran Rusia. Kemu dian, Tajikistan tergelincir ke dalam ceng keraman negara komunis Uni Soviet, me nyusul pecahnya revolusi sosialis 1917.

Selama periode Soviet, Tajikistan meng alami masa-masa suram. Kebudayaan dan peradabannya nyaris hancur. Begitu pula umat Islam hidup sengsara akibat penindasan rezim komunis. Kala itu, penguasa komunis menciptakan kaum elite baru yang sekuler dan ateis untuk memusuhi Islam.

Uniknya, justru pada periode Soviet lah Islam menancapkan pengaruh yang kuat dan dalam terhadap masyarakat Tajikistan. Hal itulah yang menjelaskan mengapa satusatunya partai Islam yang legal di bekas wilayah Soviet ada di Tajikistan. Partai yang lahir setelah ambruknya Soviet pada 1991 itu adalah Partai Kebangkitan Islam (PIR).

Setelah Tajikistan menjadi negara merdeka, terjadi pergulatan sengit untuk meraih kekuasaan, yang akhirnya meng obar kan perang saudara. Sebagaimana umum nya perang saudara, konflik ini melibatkan kelompok berbeda yang masih satu bangsa (bangsa Tajik), yakni pendukung pemerintahan sekuler di satu sisi dan pendukung Serikat Oposisi Tajik (UTO) di sisi yang lain. UTO terdiri dari sejumlah kelompok yang menjadi oposisi bagi pemerintahan. Kelompok-kelompok itu antara lain kelompok nasional demokrat dan kelompok Islam.

Namun, kelompok terkuat dalam UTO adalah Islam, dipimpin oleh PIR. Pada masa itu, pemimpin PIR yakni Said Abdullo Nuri. Ia adalah pemimpin oposisi dan agama yang paling berpengaruh bagi bangsaTajik. Pengaruh partai Islam dalam konflik ini amat kuat, bahkan umat Islam dikenal sebagai pejuang paling tangguh selama masa perang. Perang sau dara terus berkobar hingga 1997 dan menewaskan se ba nyak 80-150 ribu orang.

Lima tahun berjibaku dalam perang saudara yang menghancurleburkan banyak hal, pihak-pihak yang terlibat konflik ak hir nya duduk bersama di meja perundingan. Dalam upaya perdamaian itu, peran kun ci mediasi dimainkan oleh Rusia. Namun karena ta jam nya konflik yang ter jadi, Kremlin baru bisa memulai proses negosiasi setelah upaya kesembilan. Hasil utama dari perjanjian itu adalah pihakpihak yang terlibat konflik sepakat membentuk Ko mite Rekonsiliasi Nasional (NRC).

Komite tersebut didi rikan pada 1997. Ber da sar kan perjanjian damai itu, oposisi mendapatkan 30 persen posisi dalam struk tur pemerintahan dan 25 persen posisi di Komisi Pe milihan Pusat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement