Sabtu 12 Aug 2017 23:21 WIB

Hukuman Mati dalam Lintas Peradaban

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Tiang gantungan hukuman mati. Ilustrasi
Foto:

Dalam sejarah peradaban Barat, hukuman mati sudah dipraktikkan sejak zaman Yunani kuno. Salah satu contoh paling jelas adalah eksekusi mati filsuf tersohor, Socrates pada 399 SM. Socrates divonis mati oleh Dewan Juri Athena lantaran pemikirannya dianggap menyesatkan masyarakat, khususnya anak-anak muda di negara kota (polis) tersebut.

Proses peradilan dan eksekusi mati Socrates sendiri masih menimbulkan pertanyaan besar di kalangan sejarawan Barat sampai hari ini. Pasalnya, masyarakat Athena telah menikmati demokrasi dan kebebasan berekspresi yang jauh lebih baik dibandingkan peradaban dunia lainnya pada masa itu.

“Faktanya, filsuf tua Yunani yang sudah berumur 70 tahun itu tetap dihukum mati dengan cara disuruh meminum racun, hanya gara-gara ajarannya tidak sejalan dengan pemikiran orang-orang kebanyakan,” jelas guru besar ilmu hukum dari Universitas Missouri-Kansas City AS, Douglas  Linder, dalam karyanya The Trial of Socrates.

Pidana mati yang diterapkan oleh masyarakat Yunani kuno sebenarnya sudah ada jauh sebelum Socrates lahir. Sistem hukum Athena yang pertama kali ditulis oleh legislator Draco sekitar 621 SM, memuat aturan hukuman mati untuk berbagai pelaku kriminal. Pada masa selanjutnya, negarawan Athena bernama Solon (yang hidup antara 638-558 SM) mencabut sistem hukum Draco dan kemudian menggantinya dengan undang-undang yang baru.

“Namun, hukuman mati yang ditetapkan Draco sebelumnya terus dipertahankan di Athena,” kata sejarawan Robert A Guisepi dalam karyanya, A History of Ancient Greece, Draco and Solon Laws.

Lain lagi halnya dengan Romawi kuno. Negara ini memiliki cara beragam untuk mengeksekusi para penjahat rendahan. Salah satunya adalah dengan metode yang disebut damnatio ad bestias. Lewat metode ini, para tahanan atau narapidana akan dilemparkan ke dalam sebuah arena yang sudah diisi oleh binatang buas dan berbahaya.

“Hewan buas itu bisa berupa kucing besar (seperti singa dan macan tutul —Red), beruang, atau banteng mengamuk. Kadang-kadang, ada juga tahanan yang diseret di tanah hingga tewas oleh kuda yang berlari kencang,” ungkap sejarawan klasik dari Universitas Negeri Pennsylvania AS, Garrett G Fagan, dalam buku The Lure of the Arena: Social Psychology and the Crowd at the Roman Games.

Menurut Fagan, para penguasa Romawi memandang tahanan-tahanan tersebut tidak lebih baik dari hewan sehingga mereka pun dianggap layak menerima perlakuan tidak manusiawi. Eksekusi mati sadis menggunakan binatang buas telah menjadi tontontan publik di arena-arena Romawi, termasuk Colosseum di Roma, Italia, yang dibangun pada 70 Masehi.

Dalam Ensiklopedia Britannica disebutkan, metode eksekusi mati di Cina kuno (2100-221 SM) ternyata tidak kalah menyakitkan. Beberapa cara yang digunakan oleh penguasa negeri tirai bambu ketika itu adalah dengan menggergaji, merebus, dan menguliti terpidana atau tahanan hidup-hidup.

Pada zaman Dinasti Tang, tepatnya semasa pemerintahan Kaisar Tang Xuanzong (712-756), hukuman mati sempat dihapuskan di Cina. “Namun, hukuman itu kembali diberlakukan 12 tahun kemudian, tepatnya pada 759, sebagai respons atas pemberontakan An Shi yang menelan korban hingga puluhan juta jiwa,” ujar sejarawan Charles Benn dalam China's Golden Age: Everyday Life in the Tang Dynasty.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement