Sabtu 12 Aug 2017 22:27 WIB
Lindungi Masjid Al-Aqsha

Zionisme dan Ancaman terhadap Al-Aqsha

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Agung Sasongko
Peta Kompleks Masjid Al-Aqsha.
Foto: Ilustrasi Ninio
Peta Kompleks Masjid Al-Aqsha.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Konflik antara Israel dan Palestina yang terus berlangsung sampai hari ini, tidak dapat dipisahkan dari Zionisme. Ideologi itulah yang menjadi pembenaran dan doktrin utama oleh sebagian besar kalangan Yahudi untuk merebut kota suci Yerusalem (Baitul Maqdis) dari tangan umat Islam.

Secara harfiah, istilah Zionisme berasal dari kata ‘Tzi-yon’ yang dalam bahasa Ibrani merujuk kepada bukit Sion yang terletak di Yerusalem. Namun, definisi umum Zionisme diartikan sebagai gerakan massal sebagian besar Yahudi untuk menguasai kembali tanah leluhur mereka di Palestina.

Guru besar sejarah dari Universitas Cambridge, Inggris, Nicholas De Lange menyebutkan, cita-cita kaum Zionis dimulai sejak akhir abad ke-19. Pada masa itu, di Eropa Timur ada banyak sekali kelompok Yahudi akar rumput yang mendukung pembangunan pemukiman khusus Yahudi di Palestina. Mereka juga menginginkan adanya revitalisasi dan pemeliharaan tradisi Ibrani di wilayah tersebut, terutama Yerusalem.

“Secara umum, kelompok-kelompok pengusung gagasan itu disebut ‘Pencinta Sion’. Istilah ini pertama kali digunakan oleh pendiri gerakan mahasiswa Yahudi Austria Kadimah, Nathan Birnbaum, dalam jurnalnya “Selbstemanzipation” (Pembebasan Diri) pada 1890. Dari situlah penggunaan kata Zionisme berasal,” ungkap De Lange dalam buku An Introduction to Judaism.

Selanjutnya, aktivis politik Yahudi berkebangsaan Austria-Hungaria, Theodor Herzl, dianggap sebagai pendiri gerakan Zionis internasional. Dalam bukunya Der Judenstaat yang terbit pada 1896, Herzl membayangkan berdirinya negara Yahudi merdeka pada masa depan.

Menjelang abad ke-20, migrasi warga Yahudi dari berbagai penjuru dunia ke Palestina mulai dilakukan secara besar-besaran. Kegiatan tersebut mendapat dukungan penuh dari Kerajaan Inggris lewat penandatanganan Deklarasi Balfour pada 1917. Bahasa Ibrani mulai mendominasi sebagian wilayah Palestina sejak masa itu.

Selama Perang Dunia I berlangsung, Kesultanan Turki Ottoman mengalami kekalahan besar. Sejumlah wilayah kerajaan itu jatuh ke tangan musuh, termasuk Palestina yang sejak 1922 berada di bawah mandat Inggris. Peluang kaum Zionis untuk mendirikan negara Yahudi pun semakin terbuka lebar.

Dua tahun lebih setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya pada 14 Mei 1948, sejumlah tokoh Zionis di bawah pimpinan David Ben Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel. Mereka pun mengklaim wilayah Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” bagi bangsa Yahudi.

Belakangan, kaum Zionis juga terus berusaha menguasai kompleks Haram asy-Syarif (Masjid al-Aqsa)—yang merupakan tempat suci ketiga umat Islam setelah Makkah dan Madinah—secara penuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement