Jumat 28 Jul 2017 08:04 WIB

Bilal bin Rabah dan Kekuatan Iman

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Ilham Tirta
Masjid Nabawi, ilustrasi
Foto: Nonang/Republika
Masjid Nabawi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosok sahabat Rasulullah SAW Bilal bin Rabah merupakan satu contoh betapa Islam mengangkat derajat seluruh umat manusia, baik itu bangsa kulit cerah maupun kulit gelap. Agama ini mengajarkan ketakwaan merupakan faktor penentu status mulia di hadapan Allah. Harta, keturunan, dan kekuasaan politik hanyalah titipan belaka dari Sang Pencipta.

Sebuah hadis riwayat Imam Muslim menceritakan bagaimana kadar ketakwaan Bilal bin Rabah. Suatu hari, Rasulullah SAW hendak menunaikan shalat subuh di masjid. Beliau berpapasan dengan Bilal dan berkata kepadanya. "Wahai Bilal, beri tahu kepadaku tentang amal perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam Islam. Sebab,

malam tadi aku (bermimpi) mendengar suara terompahmu di depanku di surga."

"Tidak satu pun amal yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan senantiasa melakukan shalat (sunah) semampuku setiap selesai berwudhu dengan sempurna, siang

maupun malam," jawab Bilal.

Keimanan Bilal memang sudah teruji di masa permulaan dakwah Islam. Saat itu, Rasulullah SAW menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi. Buku Kisah-kisah Islami yang Menggetarkan Hati karya Hasan Zakaria Fulaifal mengisahkan, saat itu Bilal bin Rabah langsung memantapkan hati memeluk Islam. Padahal, waktu itu Bilal masih sebagai budak belian. Status paling rendah itu merupakan warisan.

Bilal lahir pada 580 Masehi di Makkah dari keluarga budak keturunan Afrika. Diam-diam, Bilal pada suatu hari

pergi dari pekerjaannya untuk ke majelis Rasulullah SAW. Di sana, ia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Majikannya marah begitu mengetahui kepergian budaknya itu. Lebih murka lagi begitu mencurigai keislamannya. Bilal pun tidak membantah telah mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Ia pun digiring ke tengah padang pasir untuk disiksa.

Si majikan tidak sendiri, melainkan menyertakan kawan-kawannya yang juga petinggi kaum musyrikin Makkah. Mereka hendak memaksa Bilal agar mengingkari Islam dan menyembah berhala.

Badannya dibentangkan di atas pasir yang panas, matahari menyengat amat terik. Sebuah batu besar menindih tubuh Bilal, semua kaki dan tangannya diikat dan ditambatkan pada empat tonggak. Orang-orang

musyrik terus meneriakinya agar meninggalkan iman dan Islam. Beberapa algojo juga mencambuk kepala dan bagian tubuh Bilal yang tidak tertindih batu besar. Namun, Bilal tetap tabah menjalani penyiksaan itu. Dari mulutnya hanya terucap kata yang terus diulanginya: Ahad, Ahad, Ahad, Allah Maha Esa. Satu-satunya yang pantas disembah. Bukan berhala-berhala itu.

Ketenangan Bilal justru menyurutkan keberanian orang-orang musyrik itu. Mereka pun merayu Bilal dengan iming-iming harta dan kebebasan bila ia mau menanggalkan iman dan Islam. Bilal tidak gentar. Ia terus melafalkan perkataan tauhid. Bahkan, tidak jarang senyum mengulas di bibirnya.

Orang-orang Quraisy mungkin dapat menguasai raganya dan mengambil kebebasannya sebagai budak belian. Namun, dia tahu, tidak ada yang lebih berharga daripada iman di dalam dada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement