Kamis 27 Mar 2014 13:34 WIB

Islamnya Kerajaan Gorontalo (1)

Peta Gorontalo.
Foto: Bpkp.go.id
Peta Gorontalo.

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih      

Islam masuk lewat jalur perkawaninan.

Gorontalo adalah provinsi baru yang letaknya di Sulawesi bagian utara. Daerah ini  punya jejak zaman kepemimpinan di masa dulu, termasuk kepemimpinan dalam kerajaan Islam.

Sebelum berdiri kerajaan Islam, di Gorontalo ada banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hingga pada 1385, sejumlah 17 kerajaan kecil tersebut sepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Diangkatlah Maharaja Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Hulondalo.

Menyebut Hulondalo, berarti sama artinya dengan Gorontalo. Hulondalo berasal dari kata Hulonthalangi dari istilah Huta Langi-langi, yang dalam bahasa setempat artinya genangan air. Orang Belanda menyebutnya dengan Holontalo, yang apabila ditulis dalam abjad latin menjadi Gorontalo.

Nilai budaya yang dianut adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme. Kemudian, Islam mulai masuk ke Gorontalo.

Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, menjelaskan mengenai masa-masa ketika Islam masuk ke Gorontalo. "'Sekitar 1525, Islam mulai masuk dalam wilayah kerajaan ini. Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai," ujarnya. (Baca: Islam Begitu Mekar pada Masyarakat Gorontalo)

Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.

Dari sini bisa terlihat, pihak kerajaan memahami Islam dan ingin menjalankan kerajaan sesuai tuntunan Islam. "Karena Islam, maka bentuk kerajaannya pun menjadi kesultanan," ujarnya.

Pendapat berbeda diungkapkan oleh guru besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta, Prof Dien Majid. Menurutnya, bentuk kerajaan tetap bisa dipertahankan meski rajanya telah Islam.

Dalam bentuk pemerintahan dulu, ia menjelaskan, dikenal bentuk kerajaan yang bersifat tradisional. Mulai abad ke-13, ketika Islam mulai masuk nusantara, maka dikenallah sistem pemerintah yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu kesultanan. "Meski demikian, masih ada yang tetap menggunakan nama kerajaan, namun jabatan pemimpinnya disebut dengan sultan," ujarnya.

Salah satunya, ia mencontohkan adalah kerajaan di Aceh, namanya tetap kerajaan, namun pemimpinnya bergelar sultan. Hal yang sama terjadi juga di Gorontalo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement