Selasa 04 Jul 2017 05:30 WIB

Hari Raya Istimewa

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Idul Fitri Ilustrasi
Foto: Republika/Wihdan
Idul Fitri Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam setiap masyarakat, umumnya ada beberapa hari yang dianggap istimewa. Alasannya, dapat beraneka ragam, dari memperingati peristiwa-peristiwa historis hingga keyakinan yang lebih bersifat mitos.

Sepanjang sejarahnya, kabilah-kabilah di Semenanjung Arab juga tidak luput dari tradisi demikian. Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, kebudayaan Arab mendapatkan pengaruh yang cukup signifikan dari dua peradaban besar yang mengapitnya, yakni Romawi dan Persia.

Setidak-tidaknya, ada dua hari raya yang jamaknya diperingati sebagian besar masyara kat Arab pra-Islam, yakni Nairuz dan Mihrajan. Menurut Ensiklopedia Islam, Nai ruz dan Mihrajan berasal dari tradisi Persia Kuno.

Salah satunya untuk mengagungkan matahari. Nama Mihrajan, misalnya, merupakan gabungan kata berbahasa Persia, yaitu mihr 'matahari' dan an 'cinta'. Akan tetapi, "peniruan" tradisi Persia itu tidak lantas berarti Jazirah Arab dalam kendali politik Persia. Seperti diketahui, ada cukup banyak kota di semenanjung ini yang dilintasi jalur perniagaan dunia.

Sebab, letaknya strategis untuk para saudagar dari Timur dan Barat berinteraksi sehing ga terjadilah kontak budaya yang cukup in tens. Oleh karena itu, warga setempat dapat sa ja mengadopsi tradisi kebudayaan besar dunia.

Penduduk Yastrib (kini Madinah), misalnya, termasuk yang biasa merayakan dua hari besar tersebut setiap tahun. Perayaan itu dapat berlangsung secara meriah.Orangorang mengadakan pesta bahkan, hingga mabuk-mabukan. Mereka saling berbagi kegembiraan di antara jamuan yang tersedia.

Tidak sedikit kabilah Arab yang merayakannya dengan menampilkan tarian perang atau unjuk ketangkasan dalam memainkan senjata. Namun, ketika Islam datang, tradisi meraya kan hari-hari istimewa tidak lantas dinafikan. Islam mengakomodasi kecende rung an kultural suatu masyarakat, selama tidak menjauhkan umatnya dari sifat takwa. Dalam konteks inilah, Idul Fitri dan Idul Adha menemukan maknanya.

Sarjana hadis, Imam Bukhari, dalam sahihnya nomor 909 meriwayatkan sabda Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya setiap bangsa pasti mempunyai hari raya, Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri merupakan hari raya kita (umat Islam)."

Hadis lainnya riwayat Abu Dawud dan an- Nasa'i juga menegaskan hal serupa. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu (Nairuz dan Mihrajan) dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha." Penduduk Madinah pun dengan antusias mengganti perayaan Nairuz dan Mihrajan dengan Idul Fitri dan Idul Adha.

Khususnya Idul Fitri, ada makna pencapaian yang hakiki bagi umat Islam yang telah menyelesaikan ibadah Ramadhan. Seperti dijelaskan Allah SWT dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 183-185, sejumlah keistimewaan hanya terdapat dalam Ramadhan.

Secara kebahasaan, Idul Fitri merupakan gabungan dari kata 'id dan al-fitr. 'Id berakar kata pada 'aada atau 'awada, yang antara lain berarti 'hal yang berulang kali datang/terjadi' serta 'aadah yakni 'kembali.'

Adapun kata al-fitr dalam bahasa Indonesia menjadi 'fitrah' atau 'asali.' Kata ini dalam bahasa Arab, fithar, berarti 'perangai', sedangkan kata fathara berarti 'membuka' atau 'membelah.'

Dengan demikian, Idul Fitri dapat disimpulkan bermakna sebagai sebuah perayaan berulang kali yang bertujuan mengembalikan atau membuka kembali kondisi asali seorang anak manusia. KH Muhammad Sholikhin dalam bukunya, Di Balik 7 Hari Besar Islam, berpendapat serupa.

Kata al-'id, menurutnya, merupakan musy taq dari mashdar kata al-'uud yang berarti 'selalu kembali setiap tahun.' Dengan perkataan lain, Idul Fitri bermakna 'kembalinya kebahagiaan setiap tahun.'

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement