Kamis 22 Jun 2017 13:00 WIB

Komunitas Muslim di Angola Tumbuh Perlahan

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agung Sasongko
Suasana kehidupan Muslim di Angola.
Foto: daylife.com
Suasana kehidupan Muslim di Angola.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Islam masih dianggap asing di Angola. Pernah menjadi bagian wilayah kekuasaan Portugis, Angola tak hanya mengadaptasi bahasa, tapi juga agama yang dibawa negeri tetangga Spanyol itu. Adebayo Oyebade dalam bukunya Culture and  Customs of Angola menulis, sejak kedatangan Portugis pada abad ke-15, Kristen menjadi agama yang dianut mayoritas warga Angola.

Pengaruh Islam justru berasal dari wilayah pantai timur Afrika, tapi perannya belum begitu signifikan. Muslim Angola hanya satu hingga dua setengah persen dari total populasi.

Dalam kurun beberapa tahun terakhir, komunitas Muslim di Angola tumbuh perlahan. Di beberapa kota besar, Islam dan Muslim semakin jamak ditemukan. Masjid dan sekolah pendidikan Alquran juga dibangun.

 

Muslim di Angola umumnya memang pendatang. Masih sedikit keturunan asli Angola yang memeluk Islam. Selain menjadi Muslim  karena pernikahan, warga asli Angola yang menjadi Muslim biasanya tak lepas dari kegiatan dakwah Asosiasi Pengembangan Islam Angola (AIDA).

Hal-hal yang berkaitan dengan umat Islam diatur Dewan Tinggi Muslim Angola yang berbasis di Luanda. Otoritas Angola memberikan hak bagi berbagai agama untuk tumbuh di sana, termasuk Islam.

 

Meski begitu, pada kenyataannya ada sejumlah aturan pemerintah yang menyulitkan perkembangan Islam di Angola. Isu ini sempat memicu  reaksi internasional pada akhir 2013 karena Angola dianggap menghalangi kebebasan beragama. Angola bahkan dicap negara  pertama yang melarang Islam.

 

Organisasi nonpemerintah, Maka Angola, di laman resminya memuat sebuah hasil investigasi tentang pelarangan aktivitas ibadah umat Islam “Why Islam is Illegal in Angola” yang ditulis Rafael Marques de Morais. Islam pertama kali dikenal di Angola pada 1978.

 

Dalam tulisan itu dijelaskan, suatu agama atau suatu sekte agama harus diakui pemerintah dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Tapi, salah satu persyaratannya belum bisa dicapai umat  Islam. Yakni, jumlah penganut minimal 100 ribu orang dewasa. Sementara, jumlah umat Islam di Angola baru sekitar 50 ribu orang.

Tanpa izin ini, rumah ibadah, termasuk masjid, dilarang beroperasi. Jamaahnya tidak akan ditahan, tapi imam atau pemimpin jamaah dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran hukum negara. Tindakan ini terhitung aksi kriminal.

 

Kondisi ini memang membingungkan Muslim negeri pengekspor berlian dan minyak itu. Di satu sisi, pemerintah melarang kegiatan agama secara terbuka jika agama itu belum diakui negara. Namun, pertambahan jumlah penganut Islam akan sulit dicapai jika pusat kegiatannya, masjid, tidak terlihat ada. Dari data yang dikumpulkan Maka Angola, ada 13 masjid yang dibongkar paksa, meski beberapa di antaranya sudah mendapat izin otoritas lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement