Sabtu 27 May 2017 22:00 WIB

Menelusuri Jejak Islamofobia

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Muslim AS kampanye anti Islamofobia
Foto: worldbulletin
Muslim AS kampanye anti Islamofobia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama belasan tahun belakangan, isu Islamofobia kian merebak di tengah-tengah masyarakat global, khususnya dunia Barat. Beragam bentuk aksi kebencian yang menyudutkan kaum Muslimin pun mulai dilakukan secara terang-terangan oleh kelompok anti-Islam di berbagai belahan bumi.

Secara bahasa, Islamofobia berasal dari dua kata, yaitu Islam dan fobia (ketakutan yang berlebihan). Jika ditarik maknanya, istilah tersebut didefinisikan sebagai prasangka atau ketakutan yang tidak wajar terhadap Islam dan kaum Muslimin.

“Dalam arti yang lebih luas, Islamofobia juga menjadi sinonim dari 'anti-Islam', yakni segala sikap atau tindakan yang menunjukkan ketidaksukaan terhadap agama Islam,” ungkap peneliti dari Universitas Hamburg, Jerman, Miriam Urbrock dan Marco Claas, dalam karya tulis “Islamophobia: Conceptual Historical Analysis.”

Islamofobia sering berhubungan dengan ketakutan yang tidak wajar akan simbol-simbol agama, seperti kerudung (hijab) yang kerap diartikan sebagai antifeministik dan antiliberal. Begitu pula halnya dengan kesalahan persepsi sebagian masyarakat mengenai pria yang memelihara janggut yang sering dikait-kaitkan dengan teroris.

Jika ditelusuri akar sejarahnya, beragam bentuk Islamofobia sebenarnya sudah ada sejak dimulainya dakwah Islam oleh Nabi Muhammad SAW di Kota Makkah pada abad ketujuh silam. 

Pada masa itu, permusuhan terhadap Islam justru muncul di tengah-tengah masyarakat Arab yang notabene adalah saudara sebangsa Rasulullah sendiri. Selama periode Makkah (610-622 Masehi), Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin menghadapi ujian yang hebat dari kelompok kafir Makkah. 

Masyarakat Arab jahiliyah ketika itu melakukan perlawanan habis-habisan terhadap dakwah risalah yang dibawakan Rasulullah SAW. Sejumlah tokoh Quraisy, seperti Abu Jahal dan Abu Lahab gencar memprovokasi orang-orang Makkah untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap Nabi dan para pengikutnya.

Sejumlah sahabat pun menjadi korban kekejaman musuh-musuh Islam. Sebut saja Ammar ibn Yasir, Khabbab ibn al-Arat, dan Bilal ibn Rabah yang disiksa dengan cara yang amat sadis oleh kaum kafir Makkah, hanya lantaran mereka teguh mempertahankan imannya.

Tidak hanya itu, Rasulullah SAW sendiri bahkan juga tak luput menjadi sasaran aksi kebencian orang-orang kafir Quraisy pada waktu itu. Dalam beberapa riwayat disebutkan, Nabi SAW pernah dihina, diludahi, bahkan disakiti oleh orang-orang yang memusuhi Beliau. Namun, selama berada di Makkah, semua perlakuan itu dihadapi Rasulullah dengan penuh kesabaran.

Setelah Nabi dan para sahabat hijrah ke Madinah, kaum kafir Makkah masih saja menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam. Situasi semacam itu terus berlangsung selama beberapa tahun. Hingga akhirnya terjadi peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah oleh kaum Muslimin) pada 8 Hijriyah/630 Masehi, barulah Islam mulai diterima secara luas oleh masyarakat Arab.

Sepeninggalnya Rasulullah SAW, pengaruh Islam semakin berkembang hingga ke luar Jazirah Arab. Beberapa penaklukan yang berlangsung selama pemerintahan Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Ottoman memberi kontribusi besar dalam membentuk peradaban Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Eropa.

Meskipun demikian, proses ekspansi di bawah dinasti-dinasti Islam itu bukannya tanpa hambatan. Sikap kebencian dan permusuhan yang mulai tumbuh di tengah-tengah masyarakat Barat menjadi satu tantangan tersendiri yang dihadapi kaum Muslimin selama periode tersebut.

 

]@S

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement