Selasa 23 May 2017 04:38 WIB

Wisata Masar Ibrahim Al-Khalil Berdampak Luas

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agung Sasongko
Yerusalem
Yerusalem

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Di tengah ketegangan yang menyusup di Tanah Palestina, sebagian warganya berjuang untuk bertahan dengan cara yang mereka bisa. Untuk saat ini, sebagian mereka melakukannya dengan menunjukkan sepotong sejarah Tepi Barat, Palestina.

Tidak bisa dimungkiri, pariwisata bersama interaksi sosial di dalamnya membawa  implikasi politik dan ekonomi bagi warga Palestina. Pariwisata berbasis pengalaman bersama warga lokal dan dikombinasikan dengan petualangan memacu ekonomi berkelanjutan dengan menciptakan lapangan kerja bagi kaum marginal dan warga Badui.

Wisata Masar Ibrahim al-Khalil juga membawa dampak ke luar Palestina. Kabut pemberitaan negatif tentang Palestina selama ini bisa perlahan sirna dengan melihat sendiri kondisi di sana.

Palestina, kata Koordinator Lapangan Jalur Ibrahim Wilayah Nablus Zaid Alazhari, sering disebut Kota Suci, tapi melupakan orang-orang yang hidup di dalamnya. Padahal, orang Palestina juga punya sejarah yang ingin ditunjukkan pada dunia.

Pemberitaan soal perang dan kekerasan nyaris selalu menyertai nama Palestina di pemberitaan di layar kaca. Nun jauh di Palestina sendiri, warganya ingin warga dunia melihat sendiri seperti apa Tanah Air mereka.

Buat pemilik wisma di kampung-kampung sepanjang Jalur Ibrahim di Ramallah, merupakan kebahagiaan tersendiri bila tamu mereka berubah pikiran saat datang ke Palestina, dari berpikir perang jadi berpikir wisata yang menyenangkan. Buat orang Palestina, hal kecil semacam itu penting rasanya.

Di tengah perang dan ketegangan, tertawa adalah hiburan tersendiri bagi warga Hebron, Palestina. Begitu pula di Jenin. Meski nama kota ini begitu sering bertalian dengan berita,  pasar tradisional di Jenin tetap saja ramai.  Jenin demikian ramah. Kacamata Ray Ban dan Facebook sudah bukan barang baru di sela obrolan orang-orang yang bersantai sambil menyesap jus di sana. Hal yang boleh jadi di luar bayangan mereka yang hidup di luar Palestina.

Warga sendiri tidak mempersoalkan apa agama dan kultur para wisatawan yang datang. Mereka malah senang belajar hal baru dari mereka. Bahagia bisa ditemukan di mana saja dan berinteraksi dengan siapa saja. Warga lokal menerima wisatawan yang dijamu dengan makanan khas setempat. Mereka juga tidur seperti gaya warga setempat.

Warga di desa-desa yang dilalui Masar Ibrahim al-Khalil juga berproses untuk sampai pada tahap itu. Mereka juga mengalami masa enggan membuka diri para orang asing. Namun, mereka tahu hidup harus berlanjut dengan semua perjuangannya. Keinginan hidup lebih baik itu mendorong warga desa kemudian berusaha memperbaiki rumah mereka agar laik jadi wisma tamu.

Warga juga tergerak melestarikan warisan sejarah dan budaya yang mereka miliki. Warga Palestina coba membagi apa yang mereka rasa kepada orang di luar mereka.

Masar Ibrahim al-Khalil bukanlah kamar hotel bagi mereka yang mencari perlakuan khusus saat menjelajah. Dengan kontur naik turun, Masar Ibrahim al-Khalil kadang menguras optimisme. Meski jalur ini murni soal wisata, para pejalan yang menyusuri Masar Ibrahim al-Khalil mau tidak mau diajak berpikir bukan hanya soal cedera, melainkan juga derita. Selain harus kuat membawa diri menyusuri bukit dan lembah, mata dan hati para pelintas juga akan diajak melihat dan merasakan hal sebenarnya atas sebagian wilayah Palestina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement