Ahad 09 Apr 2017 13:48 WIB

Mengenal Anatolia

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Agung Sasongko
Peta Turki
Foto: BBC
Peta Turki

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Jauh berabad-abad yang lampau, daratan Anatolia yang juga dikenal sebagai Asia Kecil dihuni masyarakat Romawi dan Yunani kuno. Di antara mereka terdapat bangsa Hatti, Hurriyah, Iberia, Lydia, dan Galatia. Bahasa yang mereka pertuturkan dulunya termasuk dalam rumpun bahasa Indo-Eropa.

Akan tetapi, pemandangan itu kini berubah drastis. Hari ini, tanah Anatolia hampir seluruhnya dihuni oleh orang-orang yang menamai diri mereka sebagai bangsa Turki. Meski sisa-sisa peninggalan peradaban Romawi dan Yunani kuno masih dapat kita temukan di Anatolia, nilai-nilai yang mengakar di tengah-tengah masyarakat di kawasan tersebut hari ini hampir sepenuhnya Turki. Mulai dari bahasa, kesenian, hingga adat-istiadatnya.

Perubahan kultur masyarakat Anatolia dari corak Indo-Eropa menjadi Turki seperti sekarang tidak terjadi secara instan, tetapi melalui proses asimilasi dalam waktu yang sangat panjang. Para ahli antropologi menyebut proses asimilasi tersebut dengan istilah Turkification alias Turkifikasi. Proses tersebut setidaknya berlangsung mulai sejak masa pemerintahan Kesultanan Seljuk dan semakin masif pada era Kesultanan Utsmaniyah.

Pada masa Kesultanan Utsmaniyah, proses Turkifikasi menyentuh hampir setiap aspek kehidupan masyarakat Asia Kecil. Adanya ikatan perkawinan antara orang Turki dan non-Turki melahirkan generasi baru di wilayah tersebut. Dengan kata lain, pernikahan menjadi salah satu faktor yang ikut mendorong terjadinya asimilasi bangsa Turki di Asia Kecil.

Bahkan, mayoritas sultan Utsmaniyah terlahir dari rahim perempuan berkebangsaan Eropa. Sebut saja Sultan Murad I (beribukan orang Yunani), Sultan Bayezid II (beribukan perempuan Albania), Sultan Osman II (beribukan perempuan Serbia), dan Sultan Mehmed IV (beribukan orang Ukraina). Dari 36 sultan yang pernah memegang tampuk kekuasaan Utsmaniyah, hanya lima orang yang beribukan orang Turki asli.

"Selama periode Ottoman (Utsmaniyah), orang-orang Kristen yang masuk Islam mengadopsi bahasa Turki dalam kesehariannya. Sementara, kebudayaan Yunani yang sebelumnya telah mengakar di kalangan masyarakat Anatolia semakin melemah pengaruhnya dari waktu ke waktu," ungkap William Langer dan Robert Blake dalam buku The Rise of the Ottoman Turks and Its Historical Background.

Pada 1330-an, toponimi atau nama-nama tempat di Anatolia telah berubah dari bahasa Yunani menjadi Turki. Beberapa di antaranya adalah Ankara (dalam versi Yunani disebut Angora), Izmir (Smyrna), Iznik (Nicaea), Konya (Iconium), Antakya (Antioch), Anadolu (Anatolia), dan Istanbul (Konstantinopolis/Konstantinopel).

Selama abad ke-19, penduduk yang mendiami wilayah Kesultanan Utsmaniyah terdiri atas beragam etnis, antara lain Persia, Arab, Albania, Yunani, Bulgaria, Bosniak, Armenia, Kurdi, Zazas, Kirkasia, Suriah, Yahudi, dan banyak lagi. Bahasa Turki menjadi semacam bahasa pemersatu bagi masyarakat majemuk tersebut, terutama di kalangan istana.

Ketika pengaruh Utsmaniyah kian meredup pada awal abad ke-20, rasa nasionalisme Turki di tengah-tengah penduduk Anatolia semakin meningkat. Sebuah gerakan bernama Genç Türkler (Angkatan Muda Turki) mencetuskan gagasan revolusi untuk membubarkan Kesultanan Utsmaniyah dan membentuk sebuah "negara bangsa" yang modern bernama Republik Turki pada 1923.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement