Jumat 21 Apr 2017 18:00 WIB

Komunitas Muslim Georgia dan Sejarah Panjang Ossetia

Muslim Georgia
Foto: onislam
Muslim Georgia

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Komunitas Muslim di Georgia tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang Ossetia. Sejarah Ossetia dimulai sejak tahun 1878. Setelah Revolusi Bolseviks, Rusia membagi Ossetia menjadi dua bagian. Ossetia Utara masuk menjadi bagian wilayah Rusia dan Ossetia Selatan ke Georgia. Pada 28 November 1991, Ossetia Selatan memerdekakan diri dari Georgia secara sepihak, namun kemerdekaan ini tidak mendapat pengakuan internasional.

Usai kemerdekaan Ossetia Selatan, terjadi konflik bersenjata antara pasukan Georgia dan gerilyawan Ossetia dan berakhir pada tahun 1992 dengan kesepakatan damai. Dalam kesepakatan itu, kedua pihak setuju bahwa pasukan perdamaian Rusia ditempatkan di wilayah perbatasan antara Georgia dan Ossetia Selatan. Namun, pada tahun 2004, Presiden Georgia Mikhail Saakashvili melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap gerilyawan Ossetia.

Tahun 2006, Ossetia Selatan melakukan referendum untuk menentukan nasib dirinya sendirinya. Hasil referendum itu menyetujui Ossetia Selatan memerdekakan diri dan terlepas dari Georgia. Pada tahun yang sama, Ossetia Selatan menyelenggarakan pemilu presiden. Presiden Edwardi Kokoty sebagai presiden terpilih pertama Republik Ossetia Selatan.

Namun, kampanye anti-Islam yang dilancarkan terus-menerus oleh Pemerintah Georgia telah menyebabkan kondisi umat Islam di Ossetia Selatan dirundung kemiskinan dan terpuruk. Kesadaran beragama di kalangan Muslim Ossetia sangat memprihatinkan disebabkan kurangnya lembaga-lembaga keagamaan, seperti masjid, Islamic Center, dan sekolah-sekolah Islam. Presiden Georgia saat ini, Mikhail Sakavsili, tergolong anti-Islam dan memiliki kebencian terhadap pertumbuhan kaum Muslim di Georgia.

 

Di Ossetia Selatan, masyarakat Muslim mencapai 65 persen dari jumlah penduduk Ossetia Selatan secara keseluruhan yang mencapai 100 ribu jiwa berdasarkan perkiraan hasil sensus tahun 1989. Etnis yang lainnya adalah keturunan Georgia sebanyak 29 persen, Rusia 2,1 persen, Armenian 1,21 persen, dan Yahudi 0,9 persen. Akibat perang Georgia-Rusia, umat Muslim Ossetia Selatan menjadi korban terbesar.

Beberapa sumber di Ossetia Selatan menyebutkan bahwa ibu kota Ossetia hancur akibat agresi militer Georgia dan bombardir artileri dan tank-tank Georgia. Perang itu telah menyisakan kepedihan di hati masyarakat Muslim Ossetia Selatan. Menurut laporan Islamtoday, sekitar dua ribu Muslim penduduk Ossetia Selatan tewas dan sekitar 50 ribu penduduk Muslim Ossetia melarikan diri ke arah utara menuju ke wilayah Ossetia Utara dan Abkhazia. Selain hancurnya bangunan infrastruktur, negara tersebut telah memerdekaan diri secara sepihak tahun 1991.

Konflik yang melibatkan Ossetia Selatan dan Georgia masih menjadi suatu isu politik sampai saat ini. Pertengahan tahun 2008 lalu, tepatnya bulan Agustus, perang di antara keduanya kembali berkecamuk. Perang Ossetia Selatan 2008 ini dipicu oleh aksi operasi militer tentara Georgia untuk merebut Kota Tskhinvali, ibu kota Ossetia Selatan, sebagai respons dari serangan terhadap desa di Georgia oleh militer Ossetia. Rusia yang bersekutu dengan Ossetia Selatan membalasnya dengan mengirim tentaranya masuk ke Georgia, membawa tank dan artileri ke Tskhinvali.

Pihak Rusia mensinyalir aksi militer yang dilancarkan Georgia merupakan upaya pembersihan etnis terhadap Muslim Ossetia Selatan. Berbagai pernyataan dari para pejabat Moskow semakin memperkuat dugaan tersebut. Menlu Rusia Sergey Lafrov mengatakan ada bukti-bukti yang menunjukkan ke arah sana. Kondisi rakyat di negara tersebut semakin memburuk dan banyak warga sipil yang mati kelaparan. Tak hanya sampai sebatas itu, bahkan Moskow menuduh Ukraina menyuplai senjata kepada Georgia untuk mendorong negara ini membersihkan etnis Muslim di Ossetia Selatan.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement