Jumat 24 Mar 2017 13:00 WIB

Awal Mula Pembangunan Jembatan Khaju di Isfahan

Jembatan Khaju
Foto: Wordpress
Jembatan Khaju

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --  Bila membicarakan Isfahan, praktis Jembatan Khaju akan disebut. Empat abad lalu, Shah Abbas II sengaja membangun jembatan itu agar Isfahan, ibu kota baru kesultanan Dinasti Safawi, dikenal luas. Sang Shah memindahkan pusat kesultanan ke kota yang terletak 340 kilometer di selatan Teheran itu karena letak yang strategis, terlalui oleh Jalur Sutera.

 

Barangkali  Shah Abbas berpikir, dengan membangun tengaran semegah itu, Isfahan akan langsung jadi buah bibir. Betapa tidak, setiap hari ada arus besar para pedagang dan pelancong yang hilir mudik dari Asia ke Timur Dekat dan sebaliknya. Praktis mereka akan berdecak kagum ketika melintasi Jembatan Khaju yang dikonstruksi dengan teknologi baru pada waktu itu.

 

Upaya ambisius Shah Abbas II dalam mengorbitkan Isfahan tak sekadar membangun jembatan megah. Dia pun membangun Istana Ali Qapu yang memiliki kubah berhias yang berkilauan bila tertimpa cahaya.

Ali Qapu didirikan menghadap ke Lapangan Naqsh-e Jahan, konon salah satu lapangan terluas di dunia, kini berstatus sebagai warisan budaya dunia versi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

 

Selain Jembatan Khaju dan Istana Ali Qapu tadi, di Isfahan masih terdapat tengaran penting lainnya seperti Jembatan Shahrestan yang dibangun Dinasti Seljuk pada abad ke-12, Masjid Shah, dan Istana Chehel Shotoon. Di sana juga ada pasar besar yang disebut Bazaar Raksasa, yang menjual aneka karpet tradisional khas Iran hingga saat ini.

 

Semua proyek itu membuat Shah Abbas II sukses membawa Isfahan mencapai ketenaran sebagai ibu kota kesultanan Dinasti Safawi. Namun, kota yang pada masa kuno dikenal dengan nama Spadana ini pernah menapaki masa keemasannya di bawah pemerintahan Dinasti Seljuk pada abad ke-10. Buktinya, ahli kedokteran terbesar pada masa pramodern, Ibnu Sina, berkarya dan mengajar di kota ini.

 

Isfahan jatuh ke tangan rezim Turko-Mongol di bawah bendera Timur Lenk pada 1387. Awalnya, Timur memperlakukan penduduk Isfahan dengan cukup beradab. Namun, masyarakat setempat tetap merasa terkungkung sehingga mereka memberontak. Pengumpul pajak dan tentara Timur dibunuhi. Timur yang murka memerintahkan agar Isfahan dibantai. Konon, sekitar 70 ribu warga tewas karenanya.

 

Dinasti Safawilah yang mengembalikan kejayaan Isfahan. Shah Abbas I berhasil mengalahkan rezim Timur dan menduduki kota. Sejak itu, kota ini mulai mengumpulkan kehormatannya kembali. Shah Abbas terus menggiat pembangunan dan mengundang ahli-ahli terbaik untuk tinggal di sana. Total, terbangunlah 163 masjid, 48 madrasah, 1.801 toko, dan 263 tempat mandi umum di Isfahan.

 

Kemasyhuran Isfahan telah menjadi magnet bagi pendatang dari berbagai latar belakang. Hasilnya, pada abad ke-17, penduduk Isfahan mencapai setengah juta jiwa. Segala yang ada di Isfahan membuat keharuman namanya terdengar hingga ke Eropa dan mengundang decak kagum mereka. Isfahan bahkan dijuluki ‘Separuh Dunia’ karena hampir segalanya bisa dicari di sana.

 

Isfahan mengalami kemunduran setelah kekalahan Dinasti Safawi dari gerombolan penakluk dari Afghanistan pada 1722. Selain itu, para pedagang mulai meninggalkan Jalur Sutera setelah ada alternatif perdagangan lewat laut yang dimotori pelayar Eropa. Kini, masyarakat dunia tetap bisa mengenali Isfahan lewat berbagai peninggalan sejarah yang masih tersisa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement