Jumat 17 Mar 2017 22:30 WIB

Kini, Marawis tak Hanya Dimainkan Saat Maulid Nabi

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Kesenian marawis di acara Tasyakuran Milad ke 28 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), Jakarta, Rabu (25/1).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Kesenian marawis di acara Tasyakuran Milad ke 28 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), Jakarta, Rabu (25/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam perkembangannya, kesenian marawis ini tak hanya dimainkan saat Maulid Nabi. Kini, dalam acara hajatan pernikahan, peresmian gedung, hingga di pusat perbelanjaan, marawis sering dimainkan.

Marawis yang ada di setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan marawis itu terletak pada cara memukul dan tari-tarian. Hasan mencontohkan seni marawis di Aceh yang tari-tariannya melibatkan laki-laki dan wanita. ''Kalau marawis khas Betawi, yang menari dan memainkan marawis hanya pria. Tariannya pun khas memakai gerakan-gerakan silat,'' ujar Hasan.

Marwas menjadi ciri khas Marawis, yaitu dengan mengandalkan bunyi yang keluar dari gendang yang ditabuh dengan tangan kosong. Nada ritmis energik akan muncul karena sang pemain menggunakan Arabian Scale, satu oktaf terdiri atas 24 nada sehingga jarak antara satu nada dan lainnya hanya seperempat. Scale ini berbeda dengan musik Barat yang berjarak setengah nada dan memiliki 12 nada dalam satu oktaf.

Marwas sebenarnya bukan barang baru bagi orang Betawi karena alat musik ini pun kerap kali dimainkan dalam orkes tradisonal Betawi yang disebut zafin. Kesenian ini pun sepertinya masih sekelas perkembangannya dengan gambang kromong.

Mendengar irama marawis, seseorang akan dibawa pada suasana Arab yang kental. Hal itu wajar karena kesenian ini memang berasal dari negeri tersebut. Bersama dengan gambus, masuknya marawis ke Indonesia bisa dikatakan melewati dua pintu.

Di Betawi sendiri, dikenal adanya kaum Ulaiti. Yaitu, keturunan orang-orang Arab asal Hadramaut, Yaman Selatan, yang datang membanjiri pesisir Nusantara sejak dua abad lalu. Desakan ekonomi dan keinginan berdakwah membuat mereka mendatangi Indonesia.

Untuk bisa membaur dengan warga Betawi, perpaduan bahasa pun terjadi. Dulu, kaum Ulaiti ini masih mengandalkan bahasa Arabnya untuk berkomunikasi. Tapi, lambat laun mulai bercampur aduk dengan bahasa Betawi. Contoh nyata adanya pengaruh Arab dalam bahasa Betawi adalah penggunaan istilah 'ane' (saya) dan 'ente' (kamu).

Penyebaran musik dan budaya Arab di Jakarta bisa dikatakan memiliki pola yang sama dengan penyebaran budaya India. Yaitu, melalui kunjungan orang-orangnya langsung ataupun lewat media hiburan. Misalny, beberapa tahun lalu, kita begitu banyak menyaksikan tayangan film India di televisi, begitu pula dengan budaya Arab.

Dulu, di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, terdapat Alhambra Theatre. Yaitu, bioskop yang mengkhususkan diri memutar film-film Mesir. Dari tontonan tersebut, rupanya warga lokal semakin akrab dengan seni dan budaya Mesir Arab sehingga lambat laun memengaruhi perbendaharaan musik gambus yang mereka geluti.

Sepuluh tahun terakhir pun sebenarnya warga Jakarta masih kerap mendengar orkes gambus yang diperdengarkan melalui RRI. Sayangnya, kini perkembangan zaman menggeser musik tersebut. Lebih kalah dari musik pop, rock, ataupun dangdut.

Padahal, jika disimak, syair-syair yang dilantunkan dalam marawis ataupun gambus banyak berisi petuah-petuah dan ajaran-ajaran agama. Karena itu, seni marawis juga kerap diperdengarkan ketika memasuki bulan Ramadhan, mauludun, dan syawalan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement