Selasa 28 Feb 2017 05:27 WIB

Buku Penghibur Pikiran

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Agung Sasongko
Buku teknologi perkembangan masa depan. Ilustrasi
Foto: Wikipedia
Buku teknologi perkembangan masa depan. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Soal buku, seorang ilmuwan bernama Ibnu Durayd menyatakan, buku merupakan penghibur bagi pikiran. Suatu hari, ia menghadiri sebuah pertemuan. Sejumlah orang dalam pertemuan itu menyampaikan beberapa tempat yang dianggap sebagai tempat indah dan menyenangkan.

Di tengah lontaran pernyataan, Durayd menyampaikan pendapatnya. Ia menyatakan, tempat-tempat itu hanyalah hiburan untuk mata. Namun, pikiran yang ingin dihibur dapat berpaling pada buku. Lalu, ia menyebutkan tiga buku favoritnya yang layak sebagai penghibur pikiran.

Buku-buku itu, kata Durayd, adalah Uyun Al Akhbar atau Kisah Pilihan karya Ibnu Qutaybah, Kitab Al Zahra atau Buku tentang Bunga karya Muhammad ibn Dawud, dan Qalaq Al Musytaq atau Kegelisahan karena Rindu yang ditulis oleh Ahmad Ibnu Abi Thahir.

Bahkan, ada kisah yang dikutip George A Makdisi dari seorang ilmuwan bernama Al Tawhidi terkait masalah buku ini. Ini soal langkah yang dilakukan Al Hasan Ibnu Ustman Al Qatari. Waktu itu, Al Qatari memutuskan menguburkan buku-buku yang dimilikinya sebab ia ingin menjalani kehidupan sufi.

Lalu, Al Qatari bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat Nabi Muhammad di sebuah masjid sedang membagi-bagikan batang pena yang menebarkan bau harum. Namun, ia tak diberi batang pena itu. Ia pun bertanya kepada Nabi SAW, mengapa ia tak mendapatkan bagian.

Nabi SAW menjawab, bagaimana ia akan memberikan batang pena tersebut kepada Al Qatari yang telah menguburkan ilmu-ilmu yang telah diwariskan Nabi SAW. Bahkan, seorang perdana menteri pun merasakan kebahagiaan saat menerima hadiah sebuah buku.

Saat turun dari kapal yang mengantaran cendekiawan Jahiz dari Bashrah ke Baghdad untuk mengunjungi Perdana Menteri Ibnu Al Jayyat, ia mendengar seseorang berteriak nyaring mengumumkan adanya pelelangan buku karya seorang filsuf Al Farra.

Sayang, ketika tiba di tempat pelelangan, tak ada lagi salinan buku yang dianggap berharga dan pantas diberikan kepada perdana menteri yang juga seorang sastrawan itu. Kemudian, pelelang mengambil sebuah buku yang disimpannya, yaitu karya ahli bahasa Sibawayh yang berjudul Al Kitab. Sang perdana menteri pun bahagia.

Kekayaan untuk buku

Atas kecintaan terhadap buku, sejumlah kaum terpelajar membelanjakan harta dan warisannya demi menambah koleksi bukunya. Sebut saja ahli bahasa, Ibnu Al Kui, yang meninggal pada 959 Masehi. Saat masih hidup, ia mendapatkan warisan harta sebesar 50 ribu dinar.

Ia tak tergiur untuk menghamburkan hartanya untuk kesenangan ragawi. Namun, ia memilih menggunakan hartanya untuk keperluan belajar dan membeli buku. Ia membeli buku yang ia inginkan demi menambah koleksi buku yang berjajar di perpustakaan pribadinya.

Di sisi lain, ada Abu Bakar Ibnu Jarrah. Ia mengikuti jejak gurunya, Ibnu Durayd, yang gandrung terhadap buku. Ia menjadi seorang sastrawan yang sangat kaya raya. Ia sempat mengumumkan kekayaannya. Salah satunya adalah koleksi buku yang nilainya mencapai 10 ribu dirham.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement