REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehidupan serta kegiatan para notaris banyak diungkapkan melalui karya biografi para penulis Muslim di kawasan Barat. Misalnya, Ibn al-Fardi dalam karyanya Maushul. Al-Fardi ini merupakan cendekiawan Muslim yang meninggal pada 1012 Masehi.
Pada masa berikutnya, ada Ibn Basykuwal dengan karyanya yang berjudul Shilah, sedangkan Marrakusyi menulis Dzayl. Dalam karyanya itu, mereka menyusun kumpulan akta kenotarisan sebagai model bagi mereka yang ingin mempelajari bidang ini.
Ilmu notariat ini dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang memiliki banyak manfaat dan menguntungkan. Banyak orang pada masa itu belajar kenotarisan, baik melalui pendidikan maupun secara otodidak, sebab banyak karya yang dibuat untuk keperluan tersebut.
Salah seorang yang memenuhi kebutuhan hidup dari bidang ini adalah Yahya ibn Amr al-Judzami. Ia adalah penduduk Kordoba yang juga hakim. Ia menghidupi dirinya dengan berpraktik sebagai notaris. Ada pula Muhammad ibn Ayyub al-Ghafiqi yang hidup pada abad ke-12.
Ghafiqi meninggalkan kampung halamannya di Saragosa menuju Valensia bersama dengan ayah dan kakeknya. Saat itu, wilayah tersebut diduduki pasukan Kristen. Di sana, Ghafiqi melanjutkan kehidupannya sebagai seorang pakar ilmu Alquran, tata bahasa, leksikografi, dan syair.
Selain itu, Ghafiqi juga menguasai sejarah, genealogi, sastra, dan bahasa Arab klasik. Dengan kemampuan yang dimilikinya itu, Ghafiqi diminta bantuan oleh orang-orang untuk membuat dan menyusun dokumen-dokumen resmi hukum.
Ghafiqi bersedia membuat dokumen yang diinginkan itu dengan meminta bayaran tinggi. Meski orang-orang yang meminta bantuannya agak keberatan, akhirnya mereka memberikan bayaran seperti yang diinginkan Ghafiqi.