Jumat 20 Jan 2017 15:21 WIB

Mengenal Maula

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Maula/Ilustrasi
Foto: Metaexistence.org
Maula/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Kata maula adalah pengem bangan dari kata dasar wala’. Dalam bahasa Arab, wala’ memiliki pemaknaan yang beragam sesuai dengan konteks kalimatnya. Kata wala’ bisa berarti berteman dengan atau berkuasa atas. Sedangkan, maula dengan bentuk jamak mawali memasuki bahasa-bahasa lain sebagai kata pinjaman.

Dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern disebutkan dalam proses sejarah, rangkaian maknanya semakin bertambah. Dan, umumnya bergantung pada apakah kata ini dipakai dalam bentuk aktif atau pasif. Oleh karena itu, maula dapat mempunyai makna timbal balik seperti tuan atau budak, patron atau klien, paman atau atau kemenakan, dan teman. Sedangkan penggunaannya di Islam, arti kata maula bisa khusus diperuntukkan bagi Allah. Kata maula dipakai sebagai gelar bagi Allah yang bermakna Pelindung. Di antaranya dalam surah al-Anfaal [8] : 40 dan Muhammad [47]: 11.

Mawali di Arab pra-Islam adalah klien atau orang belaan suatu suku Arab. Munculnya Islam dan periode tujuh abad penaklukkannya menyebabkan terangkatnya makna kata itu menjadi kaum Muslim Arab yang mencari jalan untuk menormalkan hubungan dengan rakyatnya yang baru. Oleh karena itu, mereka meng gunakan istilah mawali untuk menyebut orang Arab asing, semisal Persia, Yunani, Mesir, Yahudi, dan Afrika. Biasanya, mereka ber sekutu dengan komunitas itu sebagai klien di Arab sendiri dan orang Arab yang bermukim di Suriah, Irah, Mesir, dan Iran.

Mereka memasuki komunitas tersebut secara sukarela atau sebagai tawan an perang yang kemudian dibebaskan. Dalam kasus ini, hubungan patron-klien terbentuk dengan suku Arab tertentu, sering melalui patron laki-laki dari suku itu. Hubungan ini juga menuntut peralih an untuk memeluk Islam karena sebagian besar mawali berasal dari luar. Istilah ini menjadi bermakna kaum Muslim non-Arab. Hubungan patron-klien memberi mereka perlindungan dari anggota elite penguasa Arab yang baru sebagai balasan untuk kesetiaan dan pelayanan

Sebuah kajian memperkirakan 10 persen pengikut sejati Nabi Muhammad SAW terdiri atas mawali. Sebut saja Salman dari Persia, misalnya, Bilal dari Etiopia, dan Shuhaib dari Bizantium. Menjelang 715 M, mereka mulai memainkan peran aktif dalam kehidupan politik dan membentuk unit terpisah dalam pasukan Arab. Mereka berperan penting dalam penaklukkan Andalusia dan Asia Tengah. Teori yang diterima luas bahwa kemarahan mawali karena status kelas dua mereka di kerajaan awal menyebabkan konflik, yang membawa pada Revolusi Abbasiyah pada 750 M, baru-baru ini diperdebatkan.

Hal ini merujuk pada fakta bawah walaupun banyak mawali tetap merendahkan diri dalam hubungan dengan orang Arab, dan diremehkan sebagai kaum yang sedikit lebih baik daripada budak, banyak juga yang mendapat kedudukan terkemuka dalam kententaraan dan peme rintahan. Mereka tetap setia pada patron Umayyah dan Abbasiyah serta memperoleh status yang lebih tinggi daripada orang-orang Arab terpandang. Individu-individu yang se mula mawali juga memberi sum bangan bagi pembentukan hukum Islam, tradisi Islam, dan teologi dia lektika (ilmu kalam) serta perkembangan tata bahasa serta huruf Arab. Ilmuwan-ilmuwan awal terkemuka, seperti al-Hasan al-Bashri (728 M), Abu Hanifah (767 M), Ibnu Ishaq (791 M), dan Siba waih (791 M) berasal dari keturun an mawali.

Menjelang masa pemerintahan al-Mu’tashim, dari Dinasti Abbasi yah, praktik penyebutan orang-orang Muslim non-Arab sebagai mawali umumnya menghilang dengan turunnya elitisme Arab dan hilangnya suku-suku di daerah-daerah urban. Bentuk hubungan patron-klien lainnya kemudian bermun culan dan memainkan peran yang me nen tukan dalam pengorganisasian pe me rintahan, kesejahteraan, pendidikan, dan ekonomi di tanah-tanah Muslim, ter utama di Kerajaan Mamluk, Utsmaniyah, Shafawiyah, dan Moghul. Kedudukan mawali, dalam sejarah Islam, terus diakui di kemudian hari. Mengingat nasib negara dan peradaban itu, Ibnu Khaldun (1406 M) menyimpulkan bahwa mawali dan klien-klien lainnya penting untuk keberlangsungan dinasti ketika solidaritas kesukuan hilang.

Pada abad-abad belakangan, makna aktif dari maula (junjungan) berlaku sebagai gelar bagi penguasa, tokoh agama, dan tentunya Tuhan. Orang suci patron dari Fez, Idris, dan anggota Dinasti Sa’diyah (1511-1628) serta Dinasti Alawiyah dari Maroko disebut dengan gelar maulay. Jalaluddin Ar Rumi (1273 M), mistiskus Persia, diingat de ngan julukan maulana (junjungan kami) sehingga tarekat sufinya dinamai Maulawiyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement