Kamis 27 Oct 2016 14:30 WIB

Sebelum Ada Masjid, Umat Islam di Penzberg Shalat di Bekas Kandang Sapi

Rep: Syarif Abdussalam/ Red: Agung Sasongko
Masjid Penzberg
Foto: www.islam-penzberg.de
Masjid Penzberg

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal).

Terjemahan ayat Alquran surah Al-Hujurat ayat 13 itu, tertulis dengan jelas dalam bahasa Jerman pada salah satu sisi gerbang sebuah masjid yang beralamat di Bichlerstrasse 15, Penzberg, Bayern, Jerman.

Penzberg adalah sebuah kota dengan jumlah penduduk sekitar 16.000 jiwa yang berada di bagian selatan Jerman, yaitu di kaki Pegunungan Alpen. Muslim Penzberg merupakan minoritas di kota ini, hanya berjumlah sekitar seribu jiwa. Penzberg merupakan kota multikultur, yang ditempati sekitar 70 suku bangsa di dunia. Begitu juga dengan komunitas Muslimnya. Kebanyakan berasal dari Albania, Turki, dan Bosnia.

Masjid Penzber didirikan atas prakarsa komunitas Muslim Jerman yang tergabung dalam Islamische Gemeinde Penzberg eV atau Jamaah Islam Penzberg. Organisasi Islam yang didirikan pada 1994 ini, dikenal sangat multietnis, netral, dan terbuka.

Sebelum memiliki masjid seperti sekarang, Muslim Penzberg dulunya biasa melakukan shalat di sebuah bangunan tua bekas kandang sapi. Baru pada September 2005 setelah masjid yang diberi nama Forum Islam ini diresmikan, Muslim Penzberg bisa beribadah dengan sangat nyaman di masjid barunya. Biaya pembangunan masjid yang mencapai tiga juta Euro yang merupakan sumbangan dari Sultan bin Muhammad Al-Qassimi, emir dari Uni Emirat Arab (UEA).

Perancang Forum Islam atau Masjid Penzberg adalah Alen Jasarevic, seorang arsitek Muslim keturunan Bosnia. Berbeda dengan kebanyakan bangunan masjid lainnya di Jerman yang menggunakan gaya arsitektur Turki Usmani, Jasarevic merancang masjid ini dengan gaya kontemporer.

Ketika masjid-masjid lainnya dilengkapi kubah dan menara, Masjid Penzberg lebih memilih untuk tidak memiliki kedua ornamen tradisional masjid tersebut. Sebuah masjid memang tidak diwajibkan untuk memiliki menara dan kubah, yang penting adalah sebuah tempat yang layak dan nyaman untuk melaksanakan ibadah dan menjalin silaturahim.

Jasarevic berpendapat bahwa masjid dengan gaya kontemporer dinilai dapat lebih diterima di Eropa daripada gaya arsitektur lainnya. Selain inovatif, hal ini sejalan dengan harapan Muslim Penzberg, yaitu menginginkan sebuah masjid yang dapat diterima masyarakat sekitarnya tanpa menimbulkan protes dan juga dapat dijadikan sebagai tempat untuk berinteraksi antara sesama Muslim dan warga lainnya.

Setelah masjid ini diresmikan, harapan Muslim Penzberg menjadi kenyataan. Tercatat semenjak hari peresmiannya, masjid ini telah dikunjungi puluhan ribu pengunjung, baik Muslim ataupun non-Muslim. Komunitas Muslim Penzberg memiliki hubungan yang sangat baik dengan warga lainnya yang beragama Kristen dan Yahudi.

Menurut Jasarevic, ilmu arsitektur selama berabad-abad telah memberikan kontribusinya pada kelancaran pendakwahan dan pencitraan Islam di berbagai negeri. Pembangunan sebuah masjid selalu mengikuti kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitarnya.

Contohnya adalah Masjid Raya Xian di Cina yang dibangun dengan gaya arsitektur Dinasti Ming. Penyesuaian arsitektur bangunan masjid dilakukan sebagai salah satu langkah untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan sosialnya sehingga Islam bisa diterima dengan baik oleh semua lapisan masyarakat. Langkah inilah yang dilakukan oleh Muslim Penzberg untuk memulai komunikasi yang baik dengan warga lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement