Selasa 30 Aug 2016 13:45 WIB

Orang Alim yang Tersesat

Rep: c62/ Red: Agung Sasongko
Berdoa kepada Allah/ilustrasi
Berdoa kepada Allah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Jika Allah SWT sudah berkehendak, segala sesuatu bisa terjadi terhadap setiap hamba-Nya. Kita manusia dituntut bersabar menghadapi segala macam ujian yang mendera. Kisah berikut ini antara lain menjelaskan tentang hakikat musibah, berupa kehilangan orang yang dicintai.

Suatu ketika di golongan Bani Israil ada orang alim yang tinggi ilmu agamanya sedang berada dalam keputusasaan. Ini akibat sang istri tercinta meninggal dunia.

Namun, berkat kehendak Allah, orang alim tersebut sadar setelah seorang perempuan mengatakan bahwa dia telah larut dalam kesedihan yang membuat keimanannya kepada Allah rusak. Sebab, berlebih cinta selain kepada Allah dan rasulnya adalah sebuah keniscayaan.

Kisah ini diambil dari hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Muwattha'- nya, Bab Berharap Pahala dari Musibah.

Menurut Syekh al-Arnauth, kekuatan riwayat kisah tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Jalur periwayatannya berasal dari Muhammad bin Kaab al-Qurazhi dengan derajat sahih.

Setelah beberapa hari, istri yang amat dicintai dan dikaguminya meninggal, banyak perubahan yang terjadi dalam diri orang alim itu. Setiap hari dia menutup diri, menghindar dari setiap orang yang hendak menemuinya.

Mulai sejak itulah orang-orang yang biasa bersama dalam suatu majelis tidak menemuinya lagi.

Perubahan drastis dari guru alim yang sangat disegani itu terdengar sampai ke kampung lain. Semua orang yang mendengar perubahan sang guru itu menyayangkan mengapa sosok yang sangat disegani tersebut mesti larut dalam kesedihan hanya lantaran ditinggal seorang istri.

Padahal, dia bisa mendapatkan lagi istri yang lebih baik bila dia berkenan, begitu jawaban setiap orang kala mendengar perubahan sang guru.

Sampai pada suatu ketika, saat perubahan sang alim itu menjadi gunjingan publik, muncul seorang perempuan yang kurang setuju bila tokoh tersebut terus disudutkan. Sang perempuan pun berkelakar kepada tiap orang yang tengah menggunjing ulama itu.

Aku ingin bertemu dengannya (orang alim), katanya memotong pembicaraan orang-orang di kampung itu.

Hendak apa engkau menemuinya sekarang? Dia tidak lagi membuka majelis taklim, jawab salah satu di antara me reka kepada perem puan yang me minta diantarkan ke tempat orang alim yang sudah berpekan-pekan tidak menampakkan diri.

Aku ingin meminta fatwanya, katanya. Tidak bisa. Lebih baik permintaan fatwa itu engkau wakilkan kepada saudaranya yang menemuinya untuk memberi makan dan minum, kata seorang warga kepada perempuan itu.

Ini tidak dibisa diwakilkan, jawabnya singkat. Setelah berdebat akhirnya salah seorang dari mereka mau mengantarkan perempuan itu ke tempat sang alim. Setelah mendekati kediamannya, sang perempuan disuruh menunggu di depan pintu untuk menyampaikan maksud kedatangannya.

Cukup lama perempuan itu menunggu di depan pintu. Perempuan itu sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang alim itu. Aku harus bisa bertemu dengannya, katanya dalam hati. Di luar rumah, perempuan itu mendengar percakapan orang yang mengantarnya dengan orang alim itu.

Ada seorang perempuan di depan pintu ingin meminta fatwamu. Perempuan itu bersikap, dia hanya ingin bicara denganmu, begitu percakapan yang didengar di balik pintu. Suruh dia masuk, kata orang alim dan jawaban itu terdengar oleh perempuan itu.

Tersadar

Rasa penasaran, takut, dan tidak bisa diterima akhirnya kandas juga. Ternyata orang alim itu mau menemuinya. Setelah semua orang yang mengantarkan itu mempersilakan masuk dan meninggalkan rumah, perempuan itu langsung berkata setelah mengucapkan salam.

Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara, katanya. Apa itu? tanya sang alim sambil tidak menampakkan mukanya atau demikian pula sebaliknya, si perempuan tadi tidak menunjukkan mukanya ke si alim.

Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakannya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku untuk mengembalikannya.

Apakah aku harus mengembalikannya? kata perempuan itu panjang lebar.

Ya demi Allah, jawabnya singkat. Perempuan itu kembali berkata. Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu, katanya.

Kali ini orang alim itu menjawabnya lebih panjang, terkesan untuk mempertegas apa yang disampaikannya tidak perlu diulangi lagi bahwa perempuan yang menjadi lawan bicaranya itu harus mengembalikan apa yang dipinjamnya.

Hal itu lebih wajib atasmu untuk mengembalikannya pada mereka ketika mereka meminjamkannya beberapa waktu, katanya.

Perempuan itu kembali menimpalinya. Kali ini jawabannya lebih pada apa yang ingin disampaikannya. Bukan fatwa, melainkan sebuah perumpamaan berupa nasihat untuk orang alim yang sedang tersesat.

Semoga Allah merahmatimu. Apakah kamu menyesali apa yang Allah pinjamkan kepadamu kemudian Dia mengambilnya darimu, sementara Dia lebih berhak daripada dirimu?

Orang alim itu terkejut dengan perkataan akhir yang disampaikan perempuan itu. Selama ini dia tidak sadar apa yang telah dilakukannya keliru. Dia telah menutup diri tidak mau menerima orang setelah ditinggalkan mati oleh istri tercinta.

Perkataan perempuan itu benar. Aku telah menzalimi diriku sendiri. Ampuni kelalaianku ya Allah, katanya dalam hati sambil memejamkan mata setelah membuka dalam keadaan mata basah, perempuan itu sudah tidak ada di hadapannya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement