Sabtu 20 Aug 2016 21:27 WIB

Memandang Nasionalisme

Rep: Sri Handayani/ Red: Agung Sasongko
Upacara Peringatan Kemerdekaan Istana Merdeka. Rombongan Kereta Ki Jagarasa pembawa Bendera Duplikat Sang Saka Merah Putih dan Teks Proklamasi memasuki komplek Istana Merdeka sebelum Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan ke-71 RI di Istana Merdeka, Jakarta,
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Upacara Peringatan Kemerdekaan Istana Merdeka. Rombongan Kereta Ki Jagarasa pembawa Bendera Duplikat Sang Saka Merah Putih dan Teks Proklamasi memasuki komplek Istana Merdeka sebelum Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan ke-71 RI di Istana Merdeka, Jakarta,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cinta Tanah Air dan nasionalisme adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan seorang warga negara di Indonesia. Meski begitu, ada yang masih menganggap jika persoalan nasionalisme bertentangan dengan Islam.

Pakar Fikih, Ustaz Amir Faishol Fath, mengatakan, para ulama membagi kaidah fikih ke dalam dua perkara. Ada hal-hal yang bersifat prinsip, tidak boleh diubah, yang disebut perkara-perkara ushul.

 

Sebagai kelanjutan, ada pula perkara-perkara yang sifatnya lebih lentur, bisa berubah sesuai dengan konteks zaman. Perkara ini disebut perkara cabang atau furu.

"Misal pohon. Pohon ada batang, itu ushul, cabang itu furu. Cabang bisa bertambah banyak. Ada yang boleh dipatahkan, dibuang ketika terlalu rimbun. Itu tidak membahayakan batang pohonnya," kata Ustaz Amir, Rabu (17/8).

Bagi dia, pembagian ini merupakan kerja luar biasa dari para ulama terdahulu. Dengan pedoman ini, seseorang akan menjadi lebih bijak dalam menyikapi berbagi perkara yang terjadi.

Dalam kenyataanya, ada kelompok-kelompok yang tidak melihat suatu permasalahan dari kaidah fikih tersebut. Akibatnya, orang-orang di dalamnya tidak dapat membedakan antara perkara yang bisa disikapi secara lentur atau tidak.

Dalam memandang nasionalisme misalnya, orang yang tidak menggunakan kacamata ushul dan furu akan menganggap mencintai negara sebagai sebuah kemusyrikan, sebab menduakan cinta kepada Allah SWT. Ini, kata Ustaz Amir, merupakan suatu kesalahpahaman.

Hidup berkelompok dan bernegara adalah salah satu fitrah manusia. Dalam sebuah negara, seorang manusia mendapatkan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan. Ini merupakan fitrah manusia, seperti halnya beragama. "Hidup bernegara itu fitrah manusia. Islam itu fitrah. Jadi, antara dua hal yang sama-sama fitrah tidak akan berbenturan," ujar dia.

Dalam praktiknya, ada beberapa perkara yang mengikuti kehidupan bernegara, seperti pembuatan regulasi dan sejumlah identitas. Semuanya merupakan perkara furu yang dibuat untuk memberikan kemudahan dan kebaikan dalam kehidupan di negara tersebut. Aturan maupun simbol-simbol tersebut tidak dibuat untuk menandingi aturan-aturan Allah, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai kemusyrikan.

Dalam kehidupan bernegara juga dikenal istilah fanatisme. Dalam Islam hal ini disebut sebagai ta'ashshub. Fanatisme, yang berarti ikatan, kecintaan, atau keberpihakan terhadap sesuatu adalah hal yang wajar. Fanatisme semacam ini justru bersifat positif ketika menimbulkan rasa memiliki, ingin membela dan melindungi.

Namun, Islam melarang fanatisme buta. "Buta kan artinya ngamuk. Tidak perhitungan, tidak menggunakan akal. Kalau fanatik secara fitrah itu sesuatu yang wajar, tidak bisa dihindari. Tapi kalau berlebihan maka itu dilarang," kata Ustaz Amir.

Umat Islam meyakini bahwa Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Salah satu tugas yang diemban ialah mengelola segala yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi demi kemaslahatan seluruh umat manusia.

"Tidak boleh melakukan hal yang bertentangan dengan Allah. Dikelola semua kekayaan negara ini sesuai yang Allah inginkan. Jangan dilakukan untuk berbuat dosa, untuk merusak, untuk maksiat. Jangan menzalimi orang lain, jangan memonopoli," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement