Sabtu 02 May 2015 11:00 WIB

Islam Politik, Kontrol Kolonial pada Kebesaran Islam Nusantara (2-habis)

Rep: C38/ Red: Indah Wulandari
Sekolah guru putri tahun 1950-an
Foto: al-atsariyyah
Sekolah guru putri tahun 1950-an

REPUBLIKA.CO.ID, Bukan hanya dari sisi pengajar, Belanda juga menerapkan aturan mengenai tempat pendidikan. Pada tahun 1880, pemerintah kolonial secara resmi telah memberikan izin untuk mendidik pribumi. Kebebasan mendidik pribumi ini kemudian dihapuskan oleh adanya ordonansi pengawasan tahun 1923.

Sejak itu setiap orang yang hendak mendirikan suatu lembaga pendidikan harus memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada kepala daerah setempat, dengan menyebutkan cara pengajaran dan tempat mengajarnya. Umat Islam-lah yang pertama-tama merasakan dampaknya.

Di satu sisi, resesi ekonomi tahun 1930-an memaksa pemerintah untuk menekan anggaran belanja pendidikan.

Namun, pemerintah kolonial justru menyambut inisiatif masyarakat untuk mendirikan pendidikan dengan ordonansi sekolah liar. Akibatnya timbul reaksi hebat di kalangan masyarakat, baik dari organisasi nasional maupun Islam.

Di penghujung tahun 1932, sering terjadi konferensi atau rapat umum yang berakhir dengan keputusan menolak ordonansi sekolah liar.

Para ulama besar Minangkabau, yang beranggapan ordonansi ini merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam, menuduh pemerintah menguntungkan pihak Kristen. Mereka membentuk suatu panitia aksi yang diketuai oleh Haji Rasul.

Reaksi penolakan ini memaksa pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan yang baru berumur setengah tahun itu. Pada pertengahan Februari 1933, ordonasi ini dinyatakan ditarik kembali.

Sejak itu, pelbagai sekolah yang selama ini dinilai liar disebut sebagai sekolah swasta tak bersubsidi. Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah sekolah ini semakin meningkat dan menjadi sarana umat untuk menjaga kelangsungan pendidikan Islam yang lebih memadai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement