Rabu 25 Mar 2015 22:46 WIB

Rumusan Kriteria Baru Hilal Harus Kolaborasikan Sains dan Syariah

Rep: c 01/ Red: Indah Wulandari
Pemantauan hilal awal Ramadhan.
Foto: Republika/Agung Supri
Pemantauan hilal awal Ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Penentuan awal-awal bulan dalam kalender Islam ditetapkan melalui visibilitas hilal. Akan tetapi, penetapan awal bulan dalam kalender Islam ini kerap menimbulkan polemik karena ketidaksamaan pemahaman terhadap visibilitas hilal.

Anggota Asosiasi Observasi Hilal-Islam Indernasional (ICOP) Prof Suwandojo Siddiq menyatakan bahwa selama ini ada tiga metode penyusunan kalender Islam yang diterapkan di negara-negara berpenduduk Muslim. Ketiga metode tersebut ialah hisab urfi, hisab hakiki dan hisab Mar'ie, serta hisab imkanur-ru'yah.

Hisab urfi merupakan metode perhitungan sederhana dalam menentukan awal bulan dalam kalender Islam. Pasalnya, metode ini langsung menentukan pola pergantian bulan tanpa mempedulikan visibilitras hilal.

Perkembangan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa sistem penanggalan ini tidak akurat. Ini dikarenakan hasil dari hisab urfi tidak memperhatikan posisi bulan atau visibilitas hilal.

"Jadi tidak sesuai dengan sains dan syariah," terang Suwandojo, Rabu (25/3).

Hisab hakiki juga busa dikatakan tidak memperhatikan visibilitas hilal dalam penentuan awal bulan dalam kalender Islam.

Metode ini menentukan jika pergantian bulan sudah terjadi sebelum matahari terbenam. Dengan kata lain, ujarnya, metode ini berpedoman pada ufuk yang berjarak 90 derajat dari Zenith (horizon teoritis).

Metode ini, lanjut Suwandojo, lebih mendekati fakta keberadaan bulan di atas horizon pengamat, tetqpi tidak menjamin visibilitas hilal.

Hisab mar'ie memiliki kaidah yang berpaku pada 'wujudul hilal'. Dalam metode ini, awal bulan ditetapkan ketika konjugasi geosentris di mana bumi dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama (ijtima') terjadi sebelum Maghrib.

Hilal dianggap sudah terjadi bila saat terbenam matahari, bulan berada di atas ufuk hakiki (the true horizon) atau ufuk mar'ie (visible or apparent visible). Keberadaan bulan di atas ufuk saja tidak menjamin visibilitas penampakan hilal atau rukyatul hilal.

"Karena itu harusnya dinamakan wujudul Qomar bukan wujudul hilal karena belum jadi hilal," lanjutnya.

Perbedaan metode penentuan hilal ini ah yang kerap menyebabkan timbulnya polemik dalam penentuan hilal sebagai penanda awal bulan.

Suwandojo menilai, jalan keluarnya cukup sederhana, yaitu kembali pada ketentuan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Yang menjadi permasalahan ialah derajat tinggi hilal yang sepatutnya digunakan dalam menentukan hilal.

Sejauh ini, pemerintah biasanya menentukan hilal dengan ketinggian minimal 2 derajat. Padahal, Suwandojo menyatakan,  ketinggian tersebut belum memungkinkan hilal dapat terlihat dengan mata telanjang.

Hilal pada derajat tersebut baru bisa terdeteksi dengan menggunakan teknologi. Padahal, di zaman Rasulullah SAW, hilal ditentukan dengan mata telanjang.

Untuk itu, Suawandojo menghitung perkiraan ketinggian hilal yang terjadi di zaman Rasulullah sejak tahun pertama hingga tahun ke-10 Hijriah.

Perhitungan ini mengambil titik observasi di Madinah yang merupakan kediaman Rasulullah Lalu, berdasarkan beberapa metode perhitungan, awal tahun 1 Hijriah didapati jatuh pada 16 Juli 622 Masehi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement