Jumat 14 Nov 2014 23:59 WIB

Haji Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (15-habis)

Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: AP Photo/Khalid Mohammed/ca
Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Bagi orang khawash, selalu berusaha mempertahankan segenap perhatian, ingatan, pikiran, dan jiwanya hanya tertuju kepada Allah SWT. Tidak boleh ada daya tarik lain selain hanya kepada Allah SWT.

Bahkan dalam pandangan ilmu hakikat, orang yang mempunyai daya tarik lain selain Allah SWT walau besarnya hanya sehelai rambut sudah masuk kategori musyrik. Orang-orang musyrik dianggap sebagai najis dan dalam keadaan junub.

Karena itu, saat melakukan mandi junub ia harus membersihkan sekujur tubuhnya dan tidak boleh menyisakan walau sehelai rambut pun di dalam tubuhnya.

Mandi junubnya pun harus mandi junub hakiki, yaitu bukan hanya membersihkan anggota badan secara fi sik tetapi juga harus membersihkan jalan pikiran, kotoran rohani yang menempel di dalam dinding kalbu dengan air hakikat, berupa ma’rifah atau pengenalan dan kesadaran puncak bagi setiap orang bahwa tidak boleh ada sesuatu di dalam pikiran dan perasaan selain hanya Allah SWT.

Orang-orang dalam keadaan syirik dan ja nabah dianggap tidak mungkin bisa mendekati Allah SWT. Orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidi Haram. “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS at- Taubah [9]:28).

Bahkan orang-orang musyrik atau junub seperti tidak ada tempat baginya karena ulama ahli hakikat menganggap bumi ini adalah masjid dengan mengutip hadis Nabi, “Al-Ardhu masjidun” (bumi ini adalah tempat masjid). Orang musyrik dan janabah harus segera membersihkan dan menyucikan diri supaya kembali kepada Allah SWT.

Lebih rumit lagi jika dihadapkan dengan anggapan bahwa badan manusia merupakan tempat beribadah atau tempat sujudnya roh dan jiwa setiap orang. Dengan demikian, badan manusia juga adalah masjid.

Itulah sebabnya jika manusia sedang junub dalam arti fana dan loyalnya diberikan kepada selain Allah SWT, tidak bisa dibayangkan bisa dekat dengan Allah SWT sebelum melakukan proses thaharah secara lahir dan batin.

Salah satu proses thaharah batin atau tadzkiyah yang harus dilakukan ialah melakukan tawajjuh. Tawajjuh paling sempurna ialah ketika menghadap langsung ke Baitullah dalam keadaan haji atau umrah.

Perjalanan haji dan umrah menurut para ahli hakikat dianggap sebagai perjalanan suci dan agung karena sekaligus dianggap perjalanan menuju hati insan kabir (nafs insan kabir) yang merupakan Baitullah yang paling agung. Baitullah ini disebut juga al-Bait al-Ma’mur atau Hadharat Al-Quds, atau jiwa universal (al-Nafs al-Kulliyyat).

Hanya saja, pendekatan tarekat apalagi hakikat agak sulit dipahami oleh orang awam. Bahkan, pendekatan tersebut bisa dinilai mengaburkan konsep syariah tentang haji, Ka’bah, dan simbol-simbol haji lainnya.

Artikel ini berusaha menyajikan secara seimbang ketiga pendekatan (syariah, tarekat, dan hakikat) guna membuka wawasan kita bahwa di dalam satu ayat atau hadis ternyata bisa dipahami berbeda-beda maknanya satu sama lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement