Sabtu 04 Oct 2014 10:15 WIB

Menyoal Ziarah ke Makam Para Wali (1)

Peziarah melihat makam Imam Syafi’i di Kairo, Mesir.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Peziarah melihat makam Imam Syafi’i di Kairo, Mesir.

Oleh: Hafidz Muftisany    

Persoalan ziarah kubur selalu menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Terlebih jika menyangkut makam nabi dan orang-orang saleh.

Polemik isu pemindahan makam Nabi Muhammad SAW beberapa waktu lalu tak pelak menjadi perhatian umat Islam dunia. Beragama protes disampaikan meski pada akhirnya hanya sebatas isu.

Di dalam negeri, polemik tentang makam orang-orang saleh atau para wali kembali mencuat. Penyebabnya sebuah buku ajar dari Kementerian Agama yang menggolongkan makam para wali sebagai berhala model baru. Perbincangan, bahkan perdebatan tentang ziarah kubur seolah tak usai dibahas.

Para ulama sebenarnya tak berselisih tentang ziarah kubur. Mereka bersepakat jika ziarah kubur adalah sunah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Nabi SAW bersabda, "Aku pernah melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang kunjungilah karena hal itu dapat mengingatkan kalian pada akhirat."

Yang menjadi titik perbedaan di kalangan ulama adalah mengadakan perjalanan khusus untuk ziarah. Titik tolak perbedaannya ada pada hadis yang menyebut perjalanan ziarah hanya disyariatkan ke tiga masjid.

Yakni, Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsa di Palestina. Sementara, kelompok lainnya membolehkan perjalanan ziarah kubur karena tujuannya sendiri adalah sebuah sunah.

Dewan Fatwa Darul al-Ifta Mesir berpendapat, mengadakan perjalanan untuk ziarah hukumnya boleh. Dewan Fatwa Mesir beralasan, jika ziarah kubur disunahkan, mengadakan perjalanan untuk ziarah juga disunahkan.

Para ulama Ushul Fikih bersepakat dengan sebuah kaidah, "Sarana untuk mencapai sebuah tujuan dihukumi seperti hukum tujuan itu sendiri." Dengan demikian, jika tujuannya adalah ziarah kubur yang bernilai sunah, maka seluruh sarana untuk mencapai tujuan itu, termasuk perjalanan ziarah, juga dihukumi sunah.

Alasan lain lembaga yang pernah dipimpin Syekh Muhammad Ali Jum'ah ini adalah perjalanan sendiri hanya wasilah. Perjalanan adalah tindakan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dilihat dari sisi ini, maka perjalanan bukanlah sebuah ibadah khusus.

Terkait pemaknaan hadis, "Tidak boleh melakukan perjalanan kecuali menuju tiga masjid. Masjid al-Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjid al-Aqsha." (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa`i, dan Ibnu Majah). Ada beberapa penjelasan dari para ulama.

Menurut Darul al-Ifta Mesir, hadis tersebut hanya ditujukan pada larangan untuk masjid. Artinya,  tidak boleh meniatkan khusus ziarah ke masjid kecuali tiga masjid tersebut. Syekh Sulaiman bin Manshur menjelaskan penjelasan hadis tersebut mengacu pada perjalanan untuk shalat sehingga tidak menafikan kebolehan sebuah perjalanan untuk tujuan lain, termasuk di dalamnya ziarah kubur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement