Jumat 11 May 2018 15:13 WIB

Menjaga Nikmat

Segala nikmat yang diberikan seharusnya memberikan manfaat bagi orang lain.

Replika arsitektur payung peneduh khas Masjid Nabawi kini sudah bisa dinikmati di Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang. (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Replika arsitektur payung peneduh khas Masjid Nabawi kini sudah bisa dinikmati di Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH IMAM NAWAWI

Tidak lama setelah Nabi Musa meninju orang Mesir (dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan orang Qibthi) yang berkelahi dengan orang Bani Israel, kemudian meninggal orang Mesir yang ditinjunya itu, Nabi Musa langsung sadar akan apa yang telah dilakukan dan dampak perbuatan yang bakal diterimanya.

Nabi Musa berkata, Ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata.Musa berdoa, `Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku'.Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS al- Qashash [28]: 16).

Apa yang dilakukan Nabi Musa mungkin wajar, jika dipandang dari perspektif orang Bani Israel, karena Nabi Musa melakukannya dalam rangka membantu pria Bani Israel. Pada saat yang sama secara nyata, Fir'aun adalah pemimpin yang otoriter, lalim, dan tidak berperikemanusiaan.Jadi, wajarlah Nabi Musa membantunya.

Tetapi, membunuh orang tanpa proses pembuktian melalui mekanisme hukum yang semestinya, tentu bukan perbuatan yang dibenarkan.Oleh karena itu, seketika Nabi Musa sadar dan langsung menyatakan bahwa apa yang telah terjadi seharusnya benar-benar dijauhi.

Menyadari itu semua, Nabi Musa langsung bertekad untuk tidak tergesa-gesa melakukan apa pun yang belum jelas. Nabi Musa berdoa, Ya Rabbku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.

(QS al-Qashash [28]: 17).

Ibn Katsir menerangkan yang dimaksud dengan nikmat oleh Nabi Musa adalah mengemban amanah sebagai seorang Nabi, suatu derajat yang paling tinggi di kalangan manusia.

Kisah tersebut memberikan ibrah kepada kita bahwa segala nikmat yang telah Allah berikan, baik berupa kecerdasan, pangkat dan jabatan, maupun keberlimpahan harta dan kekayaan tidak semestinya digunakan untuk memberikan bantuan ataupun pertolongan kepada siapa pun yang melakukan perbuatan dosa.Baik itu orang yang sekelompok, separtai, maupun sekeluarga seharusnya tidak diperlakukan istimewa apabila terbukti berbuat dosa dan aniaya.Tapi, gunakanlah segala nikmat itu untuk menolong agama Allah dan membela orang-orang yang benar dan tertindas.

Demikian pula halnya dengan nikmat sehat dan nikmat waktu, seharusnya dijaga dan digunakan sepenuhnya untuk beramal sholeh, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.Bukan sebaliknya.

Dan, yang tidak kalah penting adalah menjaga nikmat ilmu.Pada hari berbangkit kelak, akan diseret orang yang berilmu, lalu dilemparkan ke dalam api neraka.Isi perutnya akan terburai dan ia akan berputar-putar bersama isi perutnya seperti seekor keledai mengelilingi gilingan gandum.

Para penduduk neraka bergerak mengitarinya sambil bertanya, `Mengapa engkau bisa sampai seperti ini?'Jawabnya, `Saat di dunia, aku menyuruh manusia melakukan kebaikan, akan tetapi justru aku sendiri tidak mengerjakannya. Aku juga melarang kejahatan, akan tetapi aku sendiri melakukannya'.(HR Bukhari).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement