Jumat 24 Nov 2017 14:16 WIB

Guru Anak Kita

Guru mengajar (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Guru mengajar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh: Hasan Basri Tanjung

Konon, ketika bom atom menghancurkan Hirosima dan Nagasaki, Jepang pun kalah dalam Perang Dunia II pada 1945. Kaisar Hiro Hito justru bertanya kepada jenderalnya, "Berapa banyak guru yang masih tersisa?" Perhatian terhadap guru menjadi jalan kejayaan sebuah bangsa pada masa depan. Hasilnya, Jepang menjadi salah satu negara industri termaju di dunia, tapi tetap menjaga jati dirinya. Demikian ulasan Prof Dr Abuddin Nata, dalam buku Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran.

Beda halnya di Indonesia. Tahun 2017 masih kekurangan 21 ribu guru agama di sekolah umum. Akibatnya, guru yang mengajar tidak memahami agama Islam dengan baik. Bahkan, yang paling miris terjadi di Kemenag Kendari Sultra, lebih dari 50 persen guru agama tidak bisa mengaji. Belum lagi, soal kesejahteraan yang belum menggembirakan.

 

Beranjak dari pengamatan sebagai pengelola sekolah Islam, guru ada empat macam: Pertama, guru penyayang. Guru yang mendidik dengan cinta dan kasih sayang, santun, dan penuh kelembutan. Mendidik setulus hati semata mengharap ridha Ilahi. Walau banyak kesulitan, dihadapi dengan senyum dan pengharapan. Kehadirannya dinantikan dan kepergiannya dirindukan.

Kedua, guru pejuang. Guru yang bekerja keras membangun pendidikan dengan sepenuh hati. Walau kemampuan terbatas, bukan halangan untuk membantu anak-anak tak berdaya meraih kejayaan. Mereka rela berkorban harta, pikiran, waktu, dan tenaga hingga mewakafkan dirinya untuk pendidikan. Ketiga, guru pedagang. Guru bermental bisnis yang mencari pendapatan.

Mereka bukan pendidik, melainkan pengajar. Datang untuk mengajar, lalu mendapat honor sesuai perjanjian. Tak peduli dengan keadaan muridnya dan tak sudi memberi waktu tambahan jika tak ada bayaran. Keempat, guru pecundang. Guru yang sebenarnya tidak patut disebut guru. Boleh jadi punya kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi, tapi buruk akhlaknya. Mereka bukan membimbing, melainkan membanting. Bukan merangkul, melainkan memukul. Bukan juga membesarkan, melainkan menelantarkan.

Orang tua tidak boleh salah memilih guru. Sebab, guru hebat akan melahirkan murid yang hebat. Guru yang buruk pun akan melahirkan murid yang buruk, bahkan lebih buruk. "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Begitu kata pepatah.

Nabi SAW diutus sebagai guru (HR Darimi 352) untuk mendidik manusia berakhlak mulia (HR Ahmad 8595). Karena itu, karakter guru mesti merujuk pada akhlak beliau (QS 33:21,62:2).

Puisi Dato Usman Awang yang berjudul "Guru Oh Guru" patutlah dipersembahkan. "Jika hari ini seorang perdana menteri berkuasaJika hari ini seorang raja menaiki takhta Jika hari ini seorang presiden memerintah sebuah negara Jika hari ini tiba seorang ulama yang mulia Jika hari ini seorang penguam menang bicara Jika hari ini datang seorang penulis terkemuka Jika hari ini siapa saja menjadi dewasa Sejarahnya dimulakan oleh seorang guru biasa Dengan lembut sabarnya mengajar tulis baca".

Selamat Hari Guru Nasional, 25 November 2017 untuk semua guru di penjuru negeri. Jadilah guru penyayang agar selalu dirindukan. Jadilah guru penjuang agar tak pernah dilupakan. Jangan jadi guru pedagang yang hanya mencari keuntungan. Apalagi, guru pecundang yang tak patut menjadi panutan. Allahu a'lam bishawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement