Senin 16 Oct 2017 08:56 WIB

Berkaca dari Kekhusyukan Mereka

Sejumlah orang menikmati makanan dan minuman di pusat jajanan serba ada (Pujasera) Melawai, Jakarta, Kamis (1/12). (foto ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah orang menikmati makanan dan minuman di pusat jajanan serba ada (Pujasera) Melawai, Jakarta, Kamis (1/12). (foto ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zico Alviandri

Kita bisa belajar atau mengambil hikmah dari siapa pun, termasuk dari perilaku orang non-Muslim dalam kehidupan keseharian mereka. Beberapa kali pindah tempat kerja, saya hampir selalu punya teammate non-Muslim yang cukup akrab. Salah satu indikator kearaban adalah seringnya kami makan siang bersama. Di momentum  itu kami bertukar cerita, dan salah satu hal yang saya amati  adalah cara berdoa ketika hendak makan.

Sepengamatan saya, banyak orang Islam, termasuk saya,  tidak terlalu fokus berdoa saat hendak makan. Memang ada kalimat yang dirapalkan, bisa dilihat dari gerak bibir, tetapi bacaan itu diucapkan sembari beraktivitas lain seperti mengaduk makanan, menyiapkan minum dan lain-lain.

Berbeda halnya  dengan teman-teman non-Muslim, khususnya yang beragama Nasrani,  yang pernah saya akrabi. Biasanya mereka menundukkan kepala beberapa saat, terlihat kehusyukan dari mimik mereka, setelah selesai mereka mengangkat kepala dan kembali bercengkerama. Sikap tunduk, diam, khusyuk, fokus berdoa, relatif jarang saya temui dalam perilaku teman-teman Muslim saya.

Meski ada yang membid’ahkan, saya sendiri tetap membaca do’a “Bismillah, Allahumma bariklana fiimaa rozaqtanaa waqinaa adzabannar” seperti yang pernah diajarkan sewaktu kecil. Dengan catatan, tambahan “Allahummabariklanaa…” tidak saya yakini berasal dari Rasulullah SAW. Karena setelah membaca tulisan-tulisan asatidz, diketahui hadits yang menyebutkan doa tersebut tidak sahih. Makanya ada yang membid’ahkan. Saya sendiri ikut pendapat yang menyatakan boleh selama tidak dianggap berasal dari Rasulullah.

Saya tahu, teman-teman Muslim pun membaca doa itu ketika makan. Banyak yang hafal doa ini. Tetapi jarang saya temui keseriusan saat membacanya. Introspeksi kepada diri sendiri, saya pun sering tidak menghadirkan hati ketika membaca doa itu. Ketika menyebut nama Allah, tidak menghadirkan kesadaran bahwa Allah-lah yang telah menyediakan rezeki yang terhidang di atas meja di hadapan saya.

Saya beriman dengan firman Allah SWT berikut yang ditujukan kepada orang kafir, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan…” (QS: Al-Furqaan : 23). Artinya, kekhusyukan mereka memang sia-sia belaka bila tidak dilandasi iman kepada Allah swt. Tapi bukan berarti saya bisa merasa tenang. Ada ayat lain yang “membayangi” saya. Yaitu:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hadid: 16)

“Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tak kenal puas dan doa yang tak diterima.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement