Selasa 24 Oct 2017 14:01 WIB

Jiwa Guru

Seorang guru mengajari anak membaca dan menghafal Al-Qur'an di Rumah Tahfidz Daarul Qur'an AN-NAAFI, Sunter Jaya, Jakarta Utara, (ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA/Agung Supriyanto
Seorang guru mengajari anak membaca dan menghafal Al-Qur'an di Rumah Tahfidz Daarul Qur'an AN-NAAFI, Sunter Jaya, Jakarta Utara, (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Oleh: Asep Sapaat

Setiap guru adalah manusia, tetapi tidak semua manusia memilih peran menjadi guru. Manusia memiliki fitrah dan kecenderungan untuk menjadi orang baik atau orang jahat. Baik atau jahatnya perilaku seorang guru sangat ditentukan oleh jiwa dan hatinya. Jiwa (an-nafs) adalah wujud atau dirinya, sedangkan hati (qalb) adalah sifat dari jiwa.

Ilmu menjadi guru bisa diwariskan dari para pengajar. Ilmu menjadi guru yang terampil mengajar bisa didapatkan di ruangruang perkuliahan, acara seminar, dan pelatihan guru. Namun, hanya ada satu cara agar guru memiliki jiwa yang utuh sebagai pengajar dan pendidik: bersihkan jiwanya dari sifat-sifat buruk. Abu Sangkan dalam bukunya yang berjudul Berguru Kepada Allah (2008) menjelaskan makna an-nafs. An-nafs artinya 'diri'. Nafs ammarah bissu' (diri yang buruk), nafs lawwamah (diri yang menyesal), dan an-nafs muthmainnah (diri yang tenang). Semua sifat itu terdapat pada diri (an-nafs).

Diri yang labil dengan kecenderungan terhadap sifat-sifat itulah yang dinamakan qalb (diri) yang terombang-ambing, sedangkan Allah memanggil kepada diri yang tenang dan jernih (muthmainnah) dalam firman-Nya, "Wahai diri (jiwa/nafs) yang tenang, datanglah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai oleh-Nya." (QS al-Fajr: 27-28).

Tak ada seorang guru pun yang mampu membersihkan hatinya dari perbuatan dosa. Karena setan memiliki segala tipu muslihat untuk menjerumuskan guru agar berbuat keji dan mungkar. Firman Allah SWT, "Dia berkata (setan) karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kanan, dan kiri mereka ...." (QS al-A'raf: 16-17).

Meski demikian, setiap guru mesti menyadari bahwa dalam jiwa manusia terdapat fitrah dari Allah SWT untuk mengetahui hal baik dan buruk serta mampu membedakan benar dan salah. Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai fitrah yang diturunkan. Fitrah ini tak dapat muncul begitu saja. Setiap guru harus berjuang mengembangkan potensi fitrah itu dengan jalan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Jiwa adalah hal esensial bagi guru. Tanpa jiwa yang tulus dan suci, mustahil melahirkan visi hidup yang jelas tentang pilihan hidup menjadi guru. Tanpa jiwa yang menyesali perbuatan dosa, sulit bagi guru mengendalikan hawa nafsu . Tanpa jiwa yang tenang, susahnya menjadi guru yang konsisten melakukan perbuatan baik dan bermanfaat bagi orang lain.

Menjadi sosok guru dengan jiwa yang baik adalah bicara soal kemauan, bukan kemampuan. Siapa yang mau dan sungguhsungguh untuk berpasrah diri dan menghambakan dirinya kepada Allah SWT, jadilah dia sosok guru yang berlimpah keteladanan. Bukan semata karena dirinya yang hebat, tetapi karena Allah ridha dan melindungi dirinya dari segala keburukan niat, kata, dan perbuatan diri (QS Shad: 82-83). Wallahu a'lam bishawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement