Senin 18 Sep 2017 14:49 WIB

Puncak Kenikmatan

Sejumlah umat Islam berdoa di Multazam, Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: ANTARA/Prasetyo Utomo/ca
Sejumlah umat Islam berdoa di Multazam, Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh Abdul Syukkur

Di akhir surah al-Kahfi, Allah berfirman, "Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan kebajikan dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS al-Kahfi [18]: 110).

Tentang kesempatan ini, Rasulul lah pun pernah menyebutkannya dalam sebuah hadis riwayat Jarir yang menceritakan, "Suatu ketika, kami duduk bersama Nabi SAW dan melihat bulan purnama. Nabi bersabda, 'Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini, tidak ada penghalang yang menghalangi pandangan kalian.'" (HR Bukhari).

Melihat Allah SWT merupakan puncak kenikmatan yang diberikan Allah kepada penduduk surga. Namun, untuk bertemu dan melihat Allah tak mudah.

Menurut ayat di atas, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhannya. Per tama, mengerjakan kebajikan, baik keba jikan individual maupun kebajikan sosial. Kebajikan individual lebih pada hubungan antara seorang hamba de ngan Tuhannya, seperti zikir, membaca Alquran, shalat, puasa, dan amaliah lainnya yang bertujuan untuk menyuci kan hati. Dengan kesucian hati itu, diri sang hamba akan mudah me lakukan berbagai kebajikan lainnya.

Sedangkan, kebajikan sosial atau komunal erat kaitannya dengan hubungan antara seorang hamba dengan sesama hamba Tuhan yang lain. Hu bungan seseorang dengan keluarganya, familinya, tetangganya, temannya, dan semua orang yang hadir dalam kehidupannya. Setiap relasi itu harus berlandaskan nilai-nilai kebaji kan.

Kedua, tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam beribadah. Artinya tidak menyembah Tuhan selain Allah SWT dan tidak mendahulukan kepentingan duniawi melebihi ibadah kepada Allah SWT. Menyekutukan Allah bisa bersifat i'tiqadi (keimanan), bisa pula bersifat amali (praktik). Menyekutukan Allah secara i'tiqadi artinya meyakini ada Tuhan lain selain Allah SWT, sedangkan menyekutukan Allah secara amali menganggap usahanya lebih penting daripada pertolongan Allah SWT.

Menyekutukan Allah secara i'tiqadi dilakukan oleh orang-orang yang tidak meyakini Allah sebagai Tuhan, yakni orang yang tidak beriman. Sementara, menyekutukan-Nya secara amali sering dilakukan oleh orang yang meya kini Allah sebagai Tuhan, hanya saja kecintaannya pada kehidupan duniawi mengalahkan kecintaannya kepada Allah SWT, sehingga dalam amaliah ke sehariannya ia lebih mendahulukan ke wajiban duniawi daripada pemenuhan kewajibannya kepada Allah SWT.

Jika kita bisa mengamalkan keduanya, yakni berbuat kebajikan dalam bentuk apa pun dan kepada siapa pun serta tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, niscaya kita akan mendapatkan puncak kenikmatan surga berupa pertemuan dengan Allah SWT.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement