Rabu 01 Mar 2017 16:30 WIB

Ikhlas Bermedia Sosial

Media sosial
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Media sosial

Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanda-tanda akhir zaman tidaklah selalu buruk. Dalam sebuah hadis hasan diriwayatkan Imam Ahmad, di antara tanda yang baik adalah tersebarnya tulisan dan buku. Melalui media sosial (medsos), tulisan dapat tersebar cepat dan masif. Betapa banyak manfaat dari postingan ilmu dan nasihat yang dapat kita petik darinya.

Celakanya, ia tidak saja berpotensi menghapus amal ibadah, tetapi juga dapat berujung pada dosa besar. Menyebarkan ilmu agama dan untaian nasihat melalui media sosial menyisakan risiko hinggapnya virus ria.

Bisa jadi niat ikhlas berdakwah di medsos karena Allah berbalik menjadi petaka karena kekhilafan ditambah hasutan setan yang tidak pernah beristirahat dari menggelincirkan anak Adam. Syair Arab mengatakan, "Tidaklah dinamakan insan melainkan karena sifat lupanya, dan dinamakan kalbu karena ia berubah-ubah."

Apabila kita membuka kembali lembaran sejarah para generasi salaf, kekhawatiran mereka terhadap ria sangatlah besar mengingat hasutannya halus dan sering menyelinap ke dalam amalan ibadah tanpa disadari.

Bahkan, ia dapat mencemari sikap tawadhu. Hasran al-Bashri Rahimahullah berkata, "Barang siapa yang mencela dirinya sendiri di hadapan banyak orang, (maka) sesungguhnya dia telah memuji dirinya, dan hal itu adalah salah satu tanda ria," (Ta'thir al-Anfas).

Oleh karena itu, ulama salaf menyiasatinya dengan menyembunyikan amalan mereka. Ketika sedang berpuasa, misalnya, mereka berhias dan memasang raut wajah segar untuk kamuflase. Ibnu Abbas berkata, "Jika salah seorang dari kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya."

Suatu ketika, Ayub as-Sikhtiyaniy pernah mendirikan shalat malam. Saat subuh hampir menjelang, tetangganya di sekitar kediamannya terbangun. Sontak, beliau merebahkan tubuhnya dan mengeluarkan suara seperti seorang yang baru terbangun. Hal ini ia lakukan agar orang-orang tidak tahu ia mendirikan shalat malam.

Ketika sedang membaca Alquran, ar-Robi' ibn Khutsaim lekas menutup mushaf ketika ada orang lain di sekitarnya. Selaras dengan hal ini, Rasulullah bersabda, "Orang yang mengeraskan bacaan Alquran sama halnya dengan orang yang terang-terangan dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Alquran sama halnya dengan orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah." (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Sebagian salaf lainnya, ketika menangis tatkala mendengar ayat-ayat Quran atau hadis, mereka memalingkan wajahnya dan berkata, "Berat sekali flu ini."

Media sosial menawarkan manfaat sekaligus mudarat. Apabila ulama salaf takut akan ria padahal medsos kala itu belum ada, maka saat ini kehati-hatian lebih dituntut lagi, bahkan melebihi kehati-hatian generasi salaf dalam menjaga keikhlasan.

Berupaya untuk ikhlas berarti berupaya untuk jujur dalam mempersembahkan ibadah kepada Allah. Rasulullah bersabda, "Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." (HR Muslim).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement