Kamis 29 Dec 2016 07:22 WIB

Syekh Batuampar, Jalan Tarekat: Spirit Ketuhanan Hatta

Mohamad Hatta 1947.
Foto:
Mohamad Hatta menghadiri Konferensi Den Haag 27 Desember 1949.

Keteguhan pendirian akan keyakinannya juga membuat Hatta tidak memiliki keberanian untuk menenggak minuman yang bisa memabukkan, sehingga ia sering menjadi bahan “ledekan” teman-temannya. Hatta mengisahkan hal ini: “Selama di Hamburg masih sempat kami pada suatu malam bersama-sama dengan Dr. Eichele dan Usman Idris melihat opera. Sebelum menonton opera itu kami makan malam dahulu pada sebuah restoran. Dahlan Abdullah, Dr. Eichele dan Usman Idris memesan bir untuk minum, aku pesan air es. Setelah selesai makan dan membayar harganya, aku ditertawakan oleh Dahlan Abdullah, bahwa minumanku air es lebih mahal harganya dari bir. Teman yang dua lainnya ikut tertawa. Di masa itu tiap-tiap restoran memesan bir berbotol-botol sekali pesan, sedangkan es dipesan dari pabrik es setiap kali. Frigidaire di waktu itu belum ada.”

Meski berpegang teguh pada pendirian keagamaannya, Hatta tetap mengembangkan pergaulan yang luas dan luwes. Selama berkuliah di Belanda dan menjadi aktivis Perhimpunan Indonesia, ia menjalin hubungan erat dengan aktivis-aktivis berlatar Sumatera (seperti Nazir Pamuntjak), Jawa (seperti Subardjo dan Gunawan Mangoenkoesoemo), Sunda (seperti Iwa Koesoema Soemantri), Indonesia Timur (seperti A.A. Maramis dan Arnold Monotutu), dan Tionghoa (seperti Dr. Liem); bahkan tak segan menjalin komunikasi dengan aktivis-aktivis kiri seperti Tan Malaka dan Semaun.

Rentang pergaulannya lantas dikembangkan ke gelanggang internasional dalam liga-liga antipenjajahan. Ia, misalnya menjalin hubungan baik dengan tokoh India, Jawaharlal Nehru. Pada tahun 1930, Hatta bersama Nehru, serta dua orang aktivis lainnya dari Eropa, dikeluarkan dari keanggotaan Liga menentang Imperlialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional yang berhaluan Komunis, karena dituduh berhaluan reformis (Hatta, 1982: 242-243).

Dengan dasar sufisme yang menekankan dimensi batin dan akhlak agama, ketimbang dimensi lahiriah dan formalisme keagamaan; ditambah dengan bacaan dan pergaulan yang luas, Hatta menjadi seorang Muslim yang teguh dengan tetap bersifat inklusif. Ia memberi tamsil bahwa cara beragamanya tidak ingin seperti memakai “gincu”, begitu jelas terlihat namun tak bisa dirasakan nilainya oleh orang lain. Cara beragamanya ingin meniru “garam” dalam larutan. Tidak terlihat, namun nilainya bisa dirasakan oleh setiap orang.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement