Kamis 29 Dec 2016 07:22 WIB

Syekh Batuampar, Jalan Tarekat: Spirit Ketuhanan Hatta

Mohamad Hatta 1947.
Foto:
Mohamad Hatta 1947.

Semula, Hatta hendak dipersiapkan untuk menjadi ulama dengan rencana mengirimnya ke sekolah agama di Makkah untuk kemudian diteruskan ke Al-Azhar Kairo. Tetapi rupanya suratan takdir membawanya menempuh jalan yang berbeda. Ketika Hatta duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat Inyik Djambek, Paman Arsjad berniat pergi ke Makkah dan akan membawa Hatta sesuai rencana. Ibunya merasa Hatta masih terlalu kecil, sedang pengajian Alquran saja belum tamat. Maka jalan menuju Makkah pun untuk sementara terhenti. Paman Arsjad yang semula kecewa, akhirnya sebagai orang Tarekat bisa menerima juga. “Ikhtiar dijalani,” katanya, “takdir menyudahi.”

Sementara Hatta menjalani Sekolah Rakyat, Syekh Djambek terus menggembleng pelajaran agamanya, untuk mempersiapkan jurusan selanjutnya, ke Makkah dan Mesir, yang tertunda. Namun sekali lagi, sebelum Sekolah Rakyat di Bukittinggi berakhir, jalan takdir membuatnya harus segera pindah ke Padang, memasuki sekolah dasar Belanda (ELS), dan kemudian melanjutkan studinya ke sekolah menengah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Beruntunglah, pada pertengahan 1918, datang keputusan pemerintah yang memberi kesempatan kepada murid-murid MULO untuk mendapatkan pelajaran agama satu jam seminggu. Di sinilah ia berkesempatan mendapatkan pengajaran agama Islam dari seorang tokoh pembaru di Sumatra Barat, Hadji Abdullah Ahmad. “Maka bersambunglah kembali pendidikanku yang teratur dalam hal agama, menurut cara baru, setelah terputus 5 tahun lamanya. Pelajaran-pelajaran secara insidentil sering kuikuti di rumah H. Abdullah Ahmad sejak setahun terakhir” (Hatta, 1982: 40).

Dari MULO, Hatta melanjutkan studi ke sekolah menengah ekonomi atas, Prins Hendrik Handels School, di Jakarta, dan pada 1921 berangkat ke negeri Belanda untuk kuliah di sekolah tinggi ekonomi Handels-Hoogeschool di Rotterdam. Dengan dasar kerohanian yang kuat, dalam menempuh jalan berliku dari kota kecil di Sumatra Barat, menuju kota besar Jakarta, hingga menembus jantung kosmopolitanisme Eropa, Hatta tidak pernah mengalami “gegar budaya” (culture shock) yang membuatnya harus memudarkan keyakinan.

Waktu libur kuliah, dengan nilai tukar Gulden Belanda yang jauh lebih tinggi dari mata uang lain, Hatta biasa berlibur ke kota-kota lain di Jerman, Austria, Perancis, dan Skandinavia. Di Hamburg dan Berlin, ia menyempatkan nonton opera dan teater. Di Wina, ia tak lupa menonton konser musik klasik. Namun dengan memasuki kehidupan budaya tinggi di Eropa itu, ia tetap taat menjalankan tuntunan agamanya. Dalam pengakuan Hatta dikatakannya, “Sebagaimana biasa aku bangun pagi hari pada jam 6.30. Waktu musim dingin aku tidur sampai jam 7. Setelah aku bangun dan sembahyang subuh, aku mulai membaca surat kabar” (Hatta, 1982: 184).

Bahkan ketika Ir. Fourner dan Ir. Van Leeuwen membujuknya untuk menjadi anggota perkumpulan Teosofi, Hatta dengan halus menolaknya. “Aku menolak terus-terang dengan alasan aku taat kepada Islam. Ir. Fournier mengatakan agama Islam tidak menjadi halangan untuk menjadi orang Teosofi. Teosofi bukan agama, katanya, melainkan ajaran, dan Teosofi memperkuat pendirian Islam untuk mencapai persaudaraan bangsa-bangsa di dunia. Tetapi aku terus menolak” (Hatta, 1982: 150).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement