Kamis 01 Dec 2016 07:00 WIB

Saatnya Pesantren Jadi Duta Perdamaian

Pondok Pesantren Alquran Babussalam Bandung menggelar acara silaturahim akbar di komplek pesantrennya, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Sabtu (22/8). Acara ini merupakan salah satu upaya Pontren Alquran Babussalam dalam mengampanyekan kerukunan hidup
Foto:

Banyak akhlak Nabi SAW bermuatan perdamaian. Beliau menebarkan kedamaian bukan hanya di antara kaum muslimin termasuk kepada manusia pada umumnya dan makhluk lainnya. Nabi SAW menghormati jenazah orang Yahudi dengan cara berdiri sebagai ungkapan hormatnya ketika jenazah lewat di depannya, (HR Bukhari dan Muslim). Memaafkan penduduk Thaif yang telah menolak dan mengusirnya, bahkan mendoakannya supaya lahir dari sulbi mereka anak keturunan yang menyembah Tuhannya satu saat.

Memaafkan dan meminta ampunkan orang yang enggan masuk Islam. Seorang kaum Anshar minta izin kepada Rasulullah agar anaknya yang Nasrani bisa dipaksa menjadi seorang Muslim. Rasulullah menolak permintaan sahabatnya seraya membacakan surat al-Baqarah [2]:256. Rasulullah tidak pernah memukul dan menghukum kecuali setelah jelas pelanggarannya. Menghargai perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara sahabatnya termasuk dalam bacaan Alquran.

Meskipun telah terjadi peperangan dalam perjuangan dakwah Islam, tetapi Islam telah mempertontonkan perdamaian yang dikehendaki. Hal ini bisa dirujuk dalam Piagam Madinah, perjanjian Hudaibiyah, dan pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Kisah bermuatan nilai-nilai perdamaian sulit disangkal adanya. Rasulullah SAW hidup berdampingan dengan Yahudi, dan Nashrani di Madinah dan tersirat secara gamblang betapa Rasulullah SAW menghargai kerukuran hidup beragama secara damai.

Islam atau al-Islam dengan berbagai derivasinya sebagaimana makna harfiahnya menunjukkan penghormatan yang tinggi terhadap perinsip-prinsip perdamaian. Esensi perdamaian ini sangat penting dipahami karena umat manusia pada hakikarnya berasal dari satu garis nenek moyang yaitu Adam dan Hawa, QS al-Nisa [4]:1. Perselisihan yang terjadi harus ishlah (damai). Untuk bisa menegakkan perdamaian dan islah itu, agama memerintahkan untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dan melarang kesyirikan melalui penegakan Ma’rifatullah (pengenalan dan pemantapan diri pada Allah swt.).

Islam memerintahkan untuk menegakkan kejujuran dan melarang kizib/bohong. Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya. Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat. Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran janji. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan melarang perbuatan durhaka kepada mereka. Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan yang terputus) dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan memutuskan silaturahim. Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan melarang bersikap buruk kepada mereka tanpa melihat agamanya, dan lain-lain.

Selain itu, Islam memerintahkan tasamuh/toleran terhadap perbedaan, memberikan penyadaran bahwa perpedaan yang terjadi adalah sunatullah,  QS al-Maidah [5]:48 sekaligus ditegaskan bahwa perbedaan itu bukanlah ukuran sebuah kehormatan dan kemuliaan, tetapi lebih pada kualitas takwanya, QS al-Hujurat [49]:13. Pada Perang Uhud, beliau yang celaka tidak mau mendoakan laknat kepada musuh-musuhnya. Bahkan beliau mengungkapkan yang artinya: “Aku tidak diutus oleh Allah sebagai pelaknat. Aku adalah seorang penyeru dan rahmat bagi manusia.” Selanjutnya Nabi berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk pada kaumku, karena sesungguhnya mereka tak mengetahuinya.” (Hr. Al-Baihaqi)

Pendeknya, keberagaman itu mestinya senantiasa menyebarkan vibrasi damai dan kasih sayang bagi lingkungan ( rahmatan lil alamin), bukannya menyebarkan rasa sesak dan semangat untuk berantem dan mengalahkan orang lain dengan kedok agama. Setiap orang yang beragama mestinya jiwa dan badannya menjadi sehat, kehormatan dirinya terjaga, dan perilaku serta tutur katanya enak dipandang dan didengar. Mestinya dengan agama seseorang lebih percaya diri, enak bergaul, dan sehat jiwa raganya. Pendek kata, orang itu harus merasa nyaman terhadap dirinya di mana pun ia berada sekaligu memberikan rasa damai. Begitulah sikap keberagaman, ibaratnya pakaian yang dia pakai ukurannya pas, serasi, dan kelihatan elok jika tidak pas pasti ada yang salah.

Berdasarkan uraian di atas, tergambarkan bahwa hakikat perdamaian yang dikehendaki Islam tidak terbatas pada zona Islam, tetapi melampaui teritorial Islam bahkan seluruh makhluk Tuhan. Peperangan dan hukuman pelanggaran bukanlah dimaksudkan untuk mentolerir kezaliman, kekerasan, konflik, tetapi sebaliknya untuk melindungi dan menolak kezaliman, intoleransi, kekerasan, konflik sesuai dengan porsinya. Semuanya ini, dimaksudkan untuk menjaga perdamaian, hidup rukun, aman dan tenang, sebagai agama yang dikenal “Islam is a religion of Peace”.

Dalam konteks itu, peningkatan peran agama dalam mempromosikan nilai-nilai perdamaian dunia perlu didukung kondisi dan iklim politik yang kondusif. Sistem dan proses politik otoriter, represif, dan tidak adil mendorong terciptanya situasi tidak damai yang penuh konflik dan kekerasan. Dengan demikian, saatnya pesantren tampil mengisi ruang ini, berperan menjadi promotor nilai-nilai perdamaian dalam berbagai forum nasional, regional, dan internasional, khususnya di wilayah Nusantara dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Inilah sekelumis harapan perdamaian yang terurai dalam acara Pesantern for Peace baru-baru ini di Pon-Pes Alquran Babussalam al-Muchtariah Ciburial Dago Atas Bandung. Allahu ‘Alam bil al-shawab.

*) Ketua Yayasan Ponpes Babussalam Ciburial Dago Bandung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement