Kamis 01 Dec 2016 07:00 WIB

Saatnya Pesantren Jadi Duta Perdamaian

Pondok Pesantren Alquran Babussalam Bandung menggelar acara silaturahim akbar di komplek pesantrennya, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Sabtu (22/8). Acara ini merupakan salah satu upaya Pontren Alquran Babussalam dalam mengampanyekan kerukunan hidup
Foto:

Sejak awal agama Islam menyadari penghadapannya dengan kemajemukan rasial dan budaya. Karena itu, ia tumbuh kembang bebas dari klaim-klaim eksklusivitas rasialistis ataupun linguistis. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, tidak pernah mentolerir pemeluknya menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan (al-ghayat). Bahkan, untuk mencapai tujuan yang baik sekalipun, umat Islam tidak ditolerir untuk menempuh jalur kekerasan, harus secara damai seperti pepatah orang Sunda 'herang cainya menang lauknya'. Maksudnya, airnya tetap jernih dan ikannya tetap dapat, artinya masalah dapat diselesaikan tanpa memperkeruh suasana meskipun prakteknya diakui amat sulit.

Dalam sejarahnya, Islam terbukti lebih banyak menampilkan perdamaian daripada pertikaian, konflik, dan peperangan. Kehadiran Islam sudah didiskenariokan oleh Tuhan menjadi agama terakhir karena kahadirannya harus mewujudkan kedamaian. Tuhan Maha Tahu bahwa problem manusia di akhir zaman adalah kedamaian. Dalam Alquran istilah perdamaian lebih banyak daripada istilah perang. Kata damai atau perdamaian terkandung dalam kata al-silm, al-salam al-Islam atau al-shulhu dan al-‘afwu dan musyawarah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam itu sendiri adalah agama perdamaian, bukan agama perang, lebih menekankan hidup damai daripada kekacauan.

Secara harfiah, ditegaskan dalam Alquran, bahwa pertamakali yang menyadari makna al-Islam ini sebagai inti agama yang  memberikan kedamaian, memberikan keamanan, menyelamatkan dan kepasrahan adalah Nabi Nuh as, Rasul Allah urutan ketiga dalam deretan dua puluh lima Rasul setelah Adam dan Idris. "...dan aku diperintahkan agar aku termasuk orang-orang yang al-muslimun (pasrah yang damai)," QS Yunus [10]:71-72.

Kesadaran al-Islam ini tumbuh dengan kuat dan tegas pada diri Nabi Ibrahim as. Nabi Ibrahim diperintahkan ber-Islam seperti hanya Nabi Nuh, QS al-Baqarah [2]:131-132. Al-Islam ini kemudian diwasiatkan Nabi Ibrahim kepada anak dan keturunannya yaitu Nabi Ya’qub dan Israil agar tidak bergeser walaupun sejengkal atau sedetik pun hingga kematian menjemputnya. Al-Islam sebagai inti agama sebagai ajaran Nabi Musa, QS al-Maidah [5]:44 dan Yunus [10]:90. Begitu juga Nabi Isa as. Putra Maryam, beliau datang dengan membawa al-Salam (kedamaian) sebagaimana tercermin dari penuturan Nabi Isa kepada pengikutnya, QS Alu Imran [3]:52 al-Maidah [5]:111.

Atas dasar itu, al-Islam adalah inti semua agama yang benar, maka Islam menjadi landasan universal kehidupan manusia, berlaku untuk setiap manusia, dan setiap tempat dan waktu, QS Alu Imran [3]:20. Karena al-Islam merupakan titik temu semua ajaran yang benar, maka di antara sesama penganut agama kepasrahan dan kedamaian pada perinsipnya harus dibina hubungan dan pergaulan yang harmonis, damai, cinta kecuali dalam kondisi terpaksa seperti jika ada salah satu yang bertindak zalim terhadap yang lainnya. Islam menjadi nama sebuah agama sebagai pemberian Tuhan langsung. Namun ia bukan sekedar nama, tapi nama yang tumbuh karena hakekat dan inti ajaran ini adalah kepasrahan kepada Allah dan kedamaian yang penuh cinta.

Dengan itu, seorang pengikut Muhammad adalah seorang Muslim par excellence yang senantiasa sadar akan hakikat kedamaian, kepasrahan, ketulusan yaitu al-Islam. Karena kesadaran akan makna hakiki Islam itu maka al-Islam, muslim, dan umat Islam mempunyai inpulse universalisme kesatuan umat manusia, QS. Yunus [10]:19 dan al-Baqarah[2]:213. (wihdat al-insaniyah, the unity of humanity) sebagai kelanjutan konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (wahdaniyah atau tauhid, the unity of god). Bahkan dalam perang pun, sebelum Nabi SAW perang beliau terlebih dulu mengajak lawan-lawannya berdamai. Perang terjadi ketika komunikasi sudah buntu dan terputus, negosiasi memiliki jalan buntu.

Dalam konteks perdamaian, Islam dapat dimaknai bahwa hakikat Islam adalah agama cinta yang menjunjung tinggi kedamaian. Islam adalah agama yang diturunkan Allah sejak Adam as sampai dengan Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan agama sebelumnya. Islam bukanlah sekte atau agama etnis, ia adalah agama yang diajarkan oleh semua nabi yang terdahulu. Islam adalah agama perdamaian yang mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Pencipta al-Khaliq Tuhan Yang Maha Esa. Kepasrahan ini tanpa membatasi hanya kepada komunitas atau kelompok agama-agama tertentu, karena itu al-Islam bersifat alami, wajar, fitri dan natural.

Bertebaran ayat-ayat Alquran serta hadis Nabi berkaitan dengan kedamaian. Agama yang disampaikan Nabi tidak dinisbatkan pada dirinya berbeda dengan agama lain karena hakikat agama yang dibawa adalah kedamaian, maka Tuhan menamakannya al-Islam. Islam dilihat dari aspek semiotika dan simantik berarti damai.

Terbukti, dalam kehidupan Nabi SAW, beliau lebih menonjolkan kedamaian daripada pertentangan, konflik dan kekerasan. Sejak awal, Nabi SAW mempertontonkan kecintaannya pada perdamaian, sikapnya selalu tampil sebagai penengah dan pembawa perdamaian baik disaat beliau tinggal di Mekah maupun di Madinah.

Pada saat Nabi SAW di Mekah, beliau telah banyak  mendamaikan kaum Quraisy. Salah satunya ketika kaum Quraish berselisih bahkan bertengkar mengenai siapa yang berhak meletakkan Hajaratu al-Aswad di tempatnya semula. Demikian halnya di saat Nabi di Madinah, pertikaian suku Aus dan Khazraj secara massif dan intensif di Madinah jauh sebelum Islam hadir tanpa bisa didamaikan oleh siapapun, akibatnya tidak sedikit harta  dan darah tumpah. Namun kehadiran Nabi SAW di Madinah membawah berkah bagi kedua suku ini, termasuk umat-umat lainnya. Nabi SAW tampil menjadi pahlawan perdamaian diantara kedua suku yang bertikai. Bahkan kedua suku ini tampil menjadi pembela setia Rasulullah dan mendapatkan gelar kaum Anshar (kaum penolong).

Dalam konteks yang lain, tercermin dalam sikap Nabi SAW ketika beliau tinggal di Madinah. Beliau melakukan perjanjian dengan kelompok agama yang ada di Madinah yang dikenal shahifah al-Madinah (Piagam Madinah) dengan maksud agar saling menjaga perdamaian. Perjanjian Hudaibiyah bersama kaum Qurasy Kufar Makkah yang diprotes oleh mayoritas sahabat meskipun dari aspek kekuatan Nabi bisa melakukan pemaksaan dan melumpuhkan kekuatan kafir Quraisy kala itu.

Dalam Fathu Makkah, Nabi SAW bukan unjuk kekuatan kaum muslimin kepada oligarki Quraisy yang menguasai Makkah tetapi “long march” itu adalah prosesi religius manusia dalam menundukkan amarah. Nabi SAW mempertontonkan perang perdamaian yaitu perang manusia mengendalikan amarah seraya beliau mengumumkan bahwa siapa yang masuk Masjidil Haram akan aman, siapa yang menutup pintu dan jendela rumanya akan aman, dan siapa yang masuk berkumpul di rumah Abu Sufyan dan Umayah akan aman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement