Senin 26 Sep 2016 07:34 WIB

Teologi Musibah

Kendaraan dan rumah tersapu banjir bandang Garut
Foto: netizen
Kendaraan dan rumah tersapu banjir bandang Garut

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusiam supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS ar-Ruum [30] :41).

Rentetan musibah yang menerpa kita akhir-akhir ini, sudah selayaknya menjadi peristiwa penuh makna. Peristiwa yang menjadi momentum tepat untuk kembali kepada Allah Sang Maha Penguasa Alam Semesta.

Sedikitnya ada empat poin penting sebagai titik tolak kesadaran teologi kita sebagai mukmin dalam memaknai peristiwa musibah yang mengharu-birukan kemanusiaan kita. Pertama, berhusnudzan kepada Allah SWT, berbaik sangka kepada-Nya. Tidaklah Dia menciptakan segala sesuatu dengan kesia-siaan (QS Shaad [38] :27).

 

Dan tentu saja sikap seorang mukmin dalam menghadapi musibah adalah dengan bersabar sembari mengharapkan balasan kebaikan dari sisi Allah SWT. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Fawaidul Fawaid-nya menjelaskan bahwa ubudiyah kepada Allah dalam qadha’ musibah ialah dengan sabar menghadapinya dan ridha menerimanya.

Ridha menerima musibah lebih tinggi kedudukannya daripada sabar. Kemudian mensyukuri musibah itu, ini lebih tinggi dari ridha. Perasaan ini muncul karena ada rasa cinta Allah SWT yang tumbuh di dalam hatinya.

Kedua, selayaknya musibah ini menjadikan kita menyadari akan kelemahan diri dan ke-MahaKuasa-an Allah SWT. Sesungguhnya kita ini tunduk dalam pengaturan Rabb kita. Jiwa kita ini ada di tangan-Nya. Ubun-ubun kita ada di tangan-Nya. Hati kita ada di tangan-Nya. Hidup, mati, bahagia dan derita, afiat dan musibah, semuanya ada di tangan Allah SWT.

Firman-Nya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim).” (QS Al An'aam [6] :162-163).

Ketiga, selayaknya musibah ini menyadarkan kita akan semakin dekatnya hari kiamat. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa diantara tanda-tanda dekatnya hari kiamat adalah banyak terjadinya gempa bumi. Karena itu kita jangan merasa aman dari turunnya adzab-Nya.

Allah SWT berfirman: “Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman sekiranya adzab Kami datang menimpa mereka di malam hari, sedang meraka dalam keadaan lelap tertidur? Ataukah mereka merasa aman apabila adzab Kami datang kepada mereka di waktu dhuha dan mereka sedang asyik bermain? Apakan mereka merasa aman dari makar Allah? Sesungguhnya tidak ada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang rugi.” (QS al-‘Araf [7] :97-99).

Keempat, selayaknya musibah ini menyadarkan kita untuk tidak membiarkan begitu saja terhadap kemunkaran-kemunkaran yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Karena boleh jadi, musibah ini akibat dari perbuatan munkar yang kita lakukan atau akibat perbuatan munkar yang kita biarkan.

Suatu ketika, Zainab istri Rasulullah, pernah bertanya kepadanya: “Wahai Rasulullah, apakah kami juga akan diadzab, sedang di tengah-tengah kami ada orang yang saleh?” Beliau menjawab: “Ya, jika kekejian itu sudah semakin banyak." (HR Muslim).

Kapan kekejian dan kejahatan itu dikategorikan banyak? Yakni ketika kekejian itu sudah dilakukan secara terang-terangan di tengah masyarakat. Tidak ada lagi orang yang menghentikannya, para aparat berwenang melegalkannya, akhirnya kemungkaran itu pun menjadi kuat karena para penguasa membiarkannya begitu saja. Wallahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement