Jumat 26 Aug 2016 04:52 WIB

Kata dan Realitas

Ustaz Muhammad Arifin Ilham saat memberikan tausiyah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ustaz Muhammad Arifin Ilham saat memberikan tausiyah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Tulisan ini lebih tepat arah telunjuknya kepada diri sendiri. Terutama saat tidak ketemunya antara kata-kata yang tertutur dengan realitas yang menjelma.

Adalah hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa jika sangat tajam perbedaan antara kata dan realitas adalah sebuah keadaan yang sangat miris nan menjerumuskan. Bahkan keadaan yang sangat dibenci-murkai oleh Allah SWT.

Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS As-Shaff: 2-3).

Allah SWT mencela perilaku Bani Israil yang hanya pandai beretorika tapi sepi dalam amal. “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44).

Dari Usamah RA, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Akan didatangkan seorang pada hari kiamat lalu dicampakkan ke dalam neraka. Di dalam neraka orang tersebut berputar-putar sebagaimana keledai berputar mengelilingi mesin penumbuk gandum. Banyak penduduk neraka yang mengelilingi orang tersebut lalu berkata, ‘Wahai Fulan, bukankah engkau dahulu sering memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?’ Orang tersebut menjawab, ‘Sungguh dulu aku sering memerintahkan kebaikan namun aku tidak melaksanakannya. Sebaliknya aku juga melarang kemungkaran tapi aku menerjangnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Rasanya meneruskan mentut keyboard ini menjadi bergetar ketika sangat sadar bahwa yang menulis adalah yang sangat tepat diarahkan telunjuk itu.

Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Saat malam Isra’ Mi’raj aku melintasi sekelompok orang yang bibirnya digunting dengan gunting dari api neraka.” “Siapakah mereka?”, tanyaku kepada Jibril. Jibril mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang dulunya menjadi penceramah ketika di dunia. Mereka sering memerintahkan orang lain melakukan kebaikan tapi mereka lupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca firman-firman Allah, tidakkah mereka berpikir?” (HR. Ahmad, Abu Nu’aim dan Abu Ya’la).

Jika kita adalah para penyeru umat, ini pesan Ibnu Qudamah, “Ketika berkhutbah seorang khatib dianjurkan untuk turut meresapi apa yang dia nasihatkan kepada banyak orang.” (Al-Mughni, 3/180).

Abu Darda radhiyallahu ‘anhu turut mengingatkan, “Tanda kebodohan itu ada tiga; pertama mengagumi diri sendiri, kedua banyak bicara dalam hal yang tidak bermanfaat, dan ketiga melarang sesuatu namun melanggarnya. (Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlih, 1/143).

Ya, kita mungkin teringat dengan sebuah lilin; ia cahayai sekitarnya namun terbakar tubuhnya. Jundub bin Abdillah Al-Bajali mentamsilkan keadaan orang yang hanya bisa mnyeru tapi tidak bisa mengamalkan.

Gambaran yang tepat untuk orang yang menasihati orang lain namun melupakan dirinya sendiri adalah laksana lilin yang membakar dirinya sendiri untuk menerangi sekelilingnya.” (Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih, 1/195).

Manusiawi jika kita mengincar decak kagum di luar kita untuk kita, hanya karena kita pandai menyusun kata. Tapi akan jadi bumerang ketika mereka tidak menemukan apa pun di halaman kehidupan kita.

Karena itu mari terus belajar menyamakan orchestra indah antara kata dengan realitas. Jangan lupa kita adalah percontohan dan qudwah untuk mereka yang hidup bersama dengan kita. Bismillah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement