Selasa 31 May 2016 06:23 WIB

Melawan Sikap Pesimistis

harus berani jangan pesimistis (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
harus berani jangan pesimistis (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Habib Ziadi

Pesimistis adalah melihat alam dengan kebencian dan memandang dunia dengan kemurkaan. Orang yang pesimistis melihat segala sesuatu menjadi hitam. Baginya bunga adalah duri, batang pohon adalah meriam, pohon kurma adalah pohon labu, dan hujan adalah api.

Orang yang pesimistis itu kerap berkerut dahinya, muram wajahnya, dan sempit hatinya. Dia tidak memiliki harapan, cita-cita, kelapangan, dan kemudahan. Dia memandang bahwa malam akan abadi, kefakiran tidak berakhir, kelaparan akan berlanjut, dan sakit tidak akan sembuh.

Dalam kamus orang yang pesimistis hanya ada kematian, rasa sakit, kehancuran, kegagalan dan kejatuhan. “Mereka mengira bahwa setiap teriakan keras ditujukan kepada mereka.” (QS. Al-Munafiqun: 4).

 

Orang yang pesimistis itu bisa mati berkali-kali dalam sehari. Dia merasa lapar padahal dalam keadaan kenyang. Dia merasa fakir padahal dalam keadaan kaya. Karena dia menaati setan. “Setan itu menakut-nakuti kalian dengan kefakiran dan menyuruh kalian berbuat keji.” (QS. Al-Baqaran 268).

Kehidupan ini bukan untuk ditakuti, namun untuk dihadapi. Allah SWT sudah menganugerahkan kita perangkat dan fasilitas yang bisa menunjang kita mengarungi derasnya kehidupan. Manusia memiliki akal, kekuatan fisik, dan kemampuan berikhtiar. Namun, semua itu tidak disadari dan disyukuri oleh orang yang bermental penakut. Rasa pesimistis sudah menguasai jiwanya.

Dalam menghadapi tantangan, hidup itu adalah urusan mau atau tidak mau. Hidup juga perkara berani atau tidak berani. Jadi kemauan dan keberanian itu diperlukan untuk mencapai sesuatu yang diikuti dengan usaha untuk mendapatkannya.

Caranya dengan mempersiapkan segala hal yang memungkinkan untuk meraihnya dan bila perlu dapat mempercepat tercapainya tujuan tersebut. Orang-orang yang sukses itu menghadapi jalan terjal di medan juang mereka. Musibah yang dideritanya tidak sedikit. Tetapi mereka menghadapinya dengan penuh kesabaran, optimisme tinggi, dan tahan uji.

Mereka bagaikan sekelompok kafilah yang tengah menyusuri padang pasir yang ditempa terik matahari atau sedang melawan badai gurun. Itulah rahasianya mengapa para pengukir sejarah berhasil mencapai cita-citanya.

"Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang utama.” (QS. Ali Imran: 186).

Jadi siapapun dia yang lemah kemauannya, dikuasai oleh pesimistis, akan lemah pula jiwanya. Akan rendah pula martabat kemanusiaannya. Para pesaing akan melesat melewatinya. Akan mudah diombang-ambingkan oleh hawa nafsu. Syetan pun akan mudah menguasainya. Ibarat sebuah bola yang ditendang kesana-kemari sesuai dengan kemauan orang yang mempermainkannya.

Sebagai khalifah fil ardi, kita dituntut untuk terus bisa survive dalam segala kondisi. Mengingat keadaan sewaktu-waktu bisa berubah. Jangan sampai kita menyerah pada nasib, tunduk pada keadaan. Semangat harus dipupuk. Ilmu pengetahuan hari demi hari harus meningkat. Keterampilan selalu diasah. Dan iman takwa jadi benteng utama. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement