Rabu 20 Apr 2016 05:00 WIB

Keledai Hilang Malah Sujud Syukur

Bersujud (ilustrasi).
Foto: Reuters
Bersujud (ilustrasi).

Oleh Sabrur R Soenardi

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sebuah kisah anekdot Idris Shah, diceritakan bahwa suatu kali, di dalam sebuah perjalanan, Nasruddin mampir di sebuah masjid untuk istirahat. Ia menambatkan keledai kesayangannya di halaman masjid, kemudian ia mengambil air wudhu untuk shalat sunah. 

Rehat sejenak, begitu pikir Nasruddin selesai sembahyang. Ia tak pernah berpikir, tempat yang ia sangka paling aman justru paling rawan tindak kejahatan. Dan itulah yang terjadi ketika ia melihat ke halaman masjid: keledainya lenyap!

Nasruddin mencari ke sana ke mari. Namun sayang, usahanya sia-sia. Ia tidak menemukan keledainya. Seorang jamaah masjid menghampirinya dan bertanya yang terjadi. Nasruddin menceritakan apa adanya. Orang tersebut terperanjat. Ia bercerita, bahwa tadi ada orang yang membawa keledai tersebut dari halaman masjid. Karena dikiranya orang itu adalah si pemilik, ia membiarkan saja.

Nasruddin kini sadar bahwa keledainya memang benar dicuri orang, bukannya lepas dari tambatan. Apa yang dilakukannya? Sejenak kemudian ia bersujud syukur. Tentu saja tingkahnya itu membuat si jamaah masjid heran bukan kepalang. Kisanak, katanya, apakah Anda kurang waras? Bagaimana mungkin, kehilangan keledai Anda malah sujud syukur. Bukannya sedih?

Nasruddin menjawab, aku selalu melihat hikmah di balik setiap peristiwa. Aku merasa bersyukur karena hanya keledaiku yang hilang. Aku masih beruntung bukan diriku, kesadaranku, yang lepas.

Umumnya kita, ketika kehilangan fasilitas duniawi, langsung gelap mata alias hilang kesadaran. Akibatnya, kita kemudian mengekspresikan tindakan-tindakan yang abnormal dan irasional, misalnya uring-uringan, mencari-cari kambing hitam (menyalahkan orang lain), atau malah anarkis (bertindak melawan aturan), pendek kata, kita mengidap penyakit baru, yakni post-power syndrome.

Kesadaran kita hilang bersamaan hilangnya fasilitas duniawi kita. Jika merujuk pada klasifikasi Eric Fromm, kita termasuk orang-orang yang bermodus eksistensi memiliki, bukannya menjadi. 

Bagi yang bermodus memiliki, yang terpenting dalam hidup ini adalah memiliki sesuatu. Maka ketika sesuatu itu hilang, serta merta ia kelimpungan. Ia tidak pernah menjadi diri sendiri, diri yang mandiri dan bebas dari segala bentuk ketergantungan, sehingga memungkinkannya untuk memahami setiap kenyataan hidup ini dalam kerangka proses dan pengalaman.

Penyakit seperti itu lebih berbahaya daripada penyakit-penyakit biasa, bahkan dari sakit gila (hilang ingatan) sekalipun. Sebab, seperti kata Nabi SAW, orang yang mengidap penyakit tersebut disebut sebagai haqqul majnun, gila yang segila-gilanya. 

Dia memang waras, tetapi sebenarnya jiwanya sakit, karena terpenjara, diperbudak hukum-hukum materi dan tubuh. Karena ia tidak sadar akan penyakitnya itu, ironisnya, ia malah merasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya, seakan-akan semuanya beres. Betapa kasihan. Andai ia tahu, tentu ia akan mendatangi psikoanalis, untuk konsultasi dan meminta terapi kesembuhan. Na'udzubillah.

 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement