Jumat 05 Feb 2016 22:11 WIB

Tiga Cinta Surat Thaha

Surat Thaha
Surat Thaha

Oleh: Ina Salma Febriany

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ar-rahmaan dan Ar-rahiim, dua asmaaul husna yang akrab di telinga kita. Dua nama baik Allah yang senantiasa pula kita baca dan kita ulang dalam surah al-fatihah lima kali sehari semalam. Itulah mengapa Allah menyebut surah al-faatihah sebagai sab’ul matsaani yang berarti tujuh ayat yang (selalu) diulang-ulang.

Jika mau diresapi, lafadz bismillahirrahmaanirrahiim memiliki makna yang teramat luar biasa. Selain penamaan khusus dari diri-Nya bahwa Dialah Zat Penebar Cinta, belas kasih dan sayang, secara tersirat juga terdapat keyakinan kuat dari-Nya, bahwa manusia tak perlu risau dan gelisah mengejar kasih sayang atau cinta dari makhluk; sebab sifat kasih sayang dan cinta-Nya sudah melampaui kasih sayang dari para makhluk.

Rahmaan dan rahiim kedua-duanya memiliki energi tersendiri bahwa sifat Allah itulah yang mampu membuat seluruh makhluk ciptaan-Nya; tak terkecuali manusia masih mampu hidup, bernafas, menghembuskan udara segar, berkumpul dengan orang-orang terkasih atau bahkan seluruh organ yang Dia ciptakan berfungsi sebagaimana mestinya.

Maka, ni’mat Tuhanmu yang mana lagikah duhai (Jin dan Manusia) yang masih dapat kalian dustakan? Demikian, Allah ulangi lagi dan lagi firman-Nya dengan lafadz yang senada dalam surah Ar-Rahmaan kurang lebih hingga 33 kali sebagai anjuran untuk sepenuhnya menyadari bahwa apa yang kita miliki dan peroleh adalah benar-benar karena izin, ridha dan kemurahan-Nya.

Berbicara tentang cinta; pasti berbicara tentang rasa. Ya, lebih tepatnya ada tiga cinta di surah Thaha. Surah Thaha, yang terletak di antara surah Maryam dan Al-Anbiya’ ini memiliki 135 ayat yang di dalamnya memuat dukungan dan keyakinan penuh dari Allah untuk Rasulullah Saw. Cinta kedua, terlimpah kepada Nabiyallah Musa as hingga dalam beberapa ayat, Allah Swt berfirman langsung kepada Musa sebagai bukti bahwa Allah takkan pernah meninggalkannya seorang diri menghadapi kekejaman Fir’aun. Lalu cinta yang ketiga, Allah limpahkan untuk Nabiyallah Adam as.

Surah yang diturunkan di Kota Makkah ini disebut surah Thaha (sesuai dengan ayat pertama surah ini) dengan beberapa alasan yaitu Thaha adalah juga salah satu nama mulia yang ditujukan kepada Nabi Muhammad. Dipanggil demikian sebagai penghormatan dan penghibur hati beliau atas segala pertentangan dan pembangkangan dari kaum kafir Quraisy. Oleh karenanya, surah ini dibuka dengan Thaha sebagai panggilan lembut dari Sang Pecinta kepada yang dicinta.

“Thaha. Tidaklah Kami menurunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menjadi susah (celaka). Melainkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut,” (Qs Thaha 1-3)

Gambaran cinta surah Thaha dalam ayat 1-3 di atas tentu sangat berpengaruh kepada sisi psikologis Rasulullah yang saat masa-masa wahyu diturunkan, kerap merasa ketakutan, gelisah dan khawatir akan keselamatan dirinya dan umat islam saat itu. Tentu perasaan yang dialami beliau sangatlah wajar. Sama halnya dengan kondisi psikis kita saat nyawa terancam, kelaparan, kekurangan uang, terlilit hutang, dan ketakutan-ketakutan manusiawi yang juga sering kita alami.

Dengan panggilan-Nya yang lembut itulah, Rasulullah Saw kembali yakin dan percaya bahwa Allah memang tidak pernah meninggalkan dirinya sekedip matapun. Allah meyakini bahwa proses turunnya Al-Quran sama sekali bukan untuk menyusahkan beliau, melainkan sebagai basyiiran (kabar gembira) bagi orang-orang beriman juga nadziiran (peringatan) agar kita menjaga diri dari perilaku yang kurang baik dan tidak diridhai-Nya.

Bentuk cinta-Nya yang kedua, yaitu untuk Nabi Musa as, tertera dalam surah Thaha ayat 11-16, Allah berfirman, “Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa”.

Dialog luar biasa yang berhasil membuat Musa as gentar kala itu mampu menumbuhkan keyakinan baru dalam diri Nabi Musa sebab sebelumnya beliau ketakutan karena sempat membunuh salah satu kaum Bani Israil karena ketidaksengajaannya. Di lembah Thuwa itulah Allah memperkenalkan diri-Nya sekaligus memproklamirkan pangkat kenabian untuk Nabi Musa bahwa dirinya telah terpilih menjadi utusan Allah. Kepada Nabi Musa, Allah juga memberikan peringatan tentang keesaan-Nya sekaligus pula menegaskan bahwa hari kiamat pasti terjadi.

Pada ayat berikutnya, yaitu ayat 17-20, ini adalah bentuk dukungan penuh dan pembekalan langsung dari Allah bagaimana agar kelak Nabi Musa as nanti sanggup menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya, “Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.

Pemberian cinta dari Allah berupa mu’jizat ini adalah bentuk kebesaran Allah Swt untuk salah satu hamba-Nya yang terpilih menjadi Nabi agar Nabi Musa pun meyakini bahwa Allah takkan pernah tinggal diam. Allah pasti akan memberikan dukungan, pendampingan, kekuatan dan kemampuan untuk menghadapi orang-orang yang zalim.

Namun pertanyaannya, apakah setelah pertemuan dan dialog di lembah Thuwa Nabi Musa berani total dan tidak lagi ketakutan? Jawabannya, tidak. Sebab, ketika perhelatan ular digelar—sebagai tantangan dari Fir’aun atas pembuktian kenabian Musa as—Nabi yang berada dalam pengawasan Allah sejak ia dihanyutkan ke sungai ini mengalami ketakutan luar biasa. Hingga akhirnya Allah membisikkan dengan lembut, “... Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu lebih tinggi (unggul). Lemparkanlah tongkat yang ada di tangan kananmu, maka ia akan menelan sihir yang mereka buat, sungguh itu hanyalah tipu daya tukang sihir. Dan tidak mungkin menang tukar sihir, darimanapun ia datang,”

Sedangkan bentuk cinta-Nya yang ketiga, ialah terlimpah untuk manusia sekaligus nabi pertama; Nabi Adam as, “Dan sungguh telah Kami janjikan kepada Adam agar tidak memakan buah khuldi sejak dahulu. Lalu dia (Adam) lupa akan janjinya dan tidak kami dapati baginya kemauan yang kuat,” (Qs Thaha: 115).

Kita semua tahu bahwasannya iblis menggelincirkan Nabi Adam dari surga karena godaan dan ajakannya untuk mencicipi buah yang dilarang Allah. Kemudian Nabi Adam menangis dan bertaubat kemudian ia temukan bahwa Allah Maha Pengampun, sehingga Dia mengampuni dosa Nabi Adam serta mengutuskan untuk menjadi khalifah di muka bumi.

Cinta ketiga inilah sebagai refleksi cinta dari Allah. Bukti cinta yang tertuju tidak hanya kepada Nabi Adam as berupa pengampunan kesalahan tapi juga kepada umat Nabi Muhammad. Jika umat-umat terdahulu, sebut saja umat Nabi Luth, Nabi Hud, Nabi Musa, langsung diazab Allah karena dosa-dosa mereka, maka bukti cinta-Nya untuk kita (umat akhir zaman) adalah pengampunan; yang jika kita melakukan kesalahan dan dosa, lalu bertaubat, maka Allah akan hapuskan segala kesalahan, tak peduli meski dosa sebanyak buih-buih di lautan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement